10 November 2024

Al-Hafizh ‘Utsman Ad-Diyami: Anak Petani yang Menjadi Maestro Rijal Hadis

 


Bagi para pegiat ilmu hadis, fan rijal hadis merupakan fan yang mau tidak mau harus dikuasai atau setidaknya dipahami secara global untuk memvalidasi suatu hadis sahih atau tidak. Jika dalam mempelajari ilmu hadis, setidaknya mesti mengenal beberapa nama besar huffazh seperti Ibnu Hajar Al-’Asqalani, As-Sakhawi, dan As-Suyuthi, maka ada satu nama penting lagi yang mesti diketahui yaitu ‘Utsman Ad-Diyami. Karena ia sendiri adalah orang sezaman yang ada di lingkarannya Ibnu Hajar Al-’Asqalani, As-Sakhawi, dan As-Suyuthi. Bahkan Al-’Asqalani pun mengakui kepakarannya dalam bidang hadis.

 

Nama, Kelahiran, dan Nisbah

Bernama Fakhruddin, Abu ‘Amr, ‘Utsman bin Muhammad bin ‘Utsman bin Nashir Ad-Diyami Ath-Thabanawi Al-Qahiri Asy-Syafi'i Al-Azhari. Ad-Diyami — sebagaimana dhabth (cara pelafalan) dari As-Sakhawi — adalah nisbah kepada Desa Diyamah (sekarang Kafr Diyama), Markaz Karf Az-Zayyat, Provinsi Al-Gharbiyyah.


Menurut ‘Abdulhay Al-Kattani dalam Fihris Al-Faharis, pelafalannya adalah Ad-Diyyami, dengan di-tasydid ya'-nya, Al-Kattani mengikuti pelafalan dari naskah tulisan Ibnu Al-Ghazi, murid Ad-Diyami, dalam Fahrasah-nya. Al-Kattani juga menyebut bahwa nama ayah Ad-Diyami itu Syamsuddin Muhammad, nama kakek Fakhruddin ‘Utsman, dan nama buyutnya Nashiruddin.


Menurut As-Sakhawi dalam Ad-Dhau’ Al-Lami’, awalnya Ad-Diyami dikenal dengan nisbah Al-Buhuti karena ibunya berasal dari Desa Buhut. Di kemudian hari ia dikenal dengan nisbah Ad-Diyami karena ayahnya berasal dari Desa Diyamah, di samping mata pencariannya sebagai petani di Buhut.


Ad-Diyami lahir di Desa Thabana, Sakha, Markaz Kafr Asy-Syaikh, Provinsi Al-Gharbiyyah pada Muharam 821 H. Menurut Al-Hafizh As-Sakhawi, keterangan ini sebagaimana tulisan pribadi Ad-Diyami dan kesaksian As-Sakhawi yang pernah mendengarnya langsung dari Ad-Diyami. Waktu itu, sang ibu yang sedang mengandungnya bermigrasi dari Buhut ke Thabana sehingga lahirlah Ad-Diyami di sana. Oleh sebab itu disematkan nisbah At-Thabanawi dalam namanya. Lalu selang beberapa waktu bersama ibunya ia bermigrasi lagi ke Diyamah, sehingga ia sering bolak-balik tiga daerah: Buhut, Thabana, dan Diyamah karena ketiganya berdekatan.


Adapun tahun lahir Ad-Diyami menurut Najmuddin Al-Ghazzi dalam Al-Kawakib As-Sa'irah yaitu 819 H, menurut penulis, itu tidak tepat. Karena tidak disertai bukti apalagi juga menyelisihi sumber sezaman yaitu Al-Hafizh As-Sakhawi dalam Ad-Dhau' Al-Lami'.


Nisbah Al-Qahiri merujuk kepada tempat tinggal, tempat belajar, dan tempat wafat Ad-Diyami. Asy-Syafi'i merujuk kepada mazhabnya yaitu Mazhab Imam asy-Syafi'i. Al-Azhari merujuk kepada Masjid Al-Azhar yaitu tempat ia menempa keilmuannya sehingga keluar menjadi muhaddits besar.

 

Masa Kecil

Ad-Diyami kecil tumbuh di Diyamah, desa asal ayahnya, Muhammad. Layaknya anak kecil Mesir pada umumnya ia menghafalkan Al-Qur'an kepada beberapa guru di sana, yaitu: Syekh Abubakar bin Al-Bawwab Al-Banubi, Syekh Jamaluddin Abdullah bin As-Samariqi Al-Buhuti, Syekh Ahmad bin ‘Abbas Ath-Thabanawi Adh-Dharir, Syekh Abdullah bin Abdulwahid Ath-Thabanawi Adh-Dharir.


Kepada guru yang terakhir, Ad-Diyami belajar cara mengayam tikar, karpet dan berbagai jenis anyaman. Selain diajari membuat berbagai anyaman, Ad-Diyami juga diajari bertani dan bercocok tanam sehingga aktivitasnya di Diyamah menjadi sangat sibuk. Hal ini membuatnya jarang mendaras hafalan Al-Qur'an hingga mengakibatkan beberapa hafalannya luntur.

 

Belajar di Kairo

Pada tahun 842 H, Ad-Diyami — waktu itu ia sudah 20-an tahun — memutuskan hijrah ke Kairo, meninggalkan pekerjaan bertaninya. Sampai di Kairo ia tinggal di dekat Masjid Al-Azhar menjadi bagian komunitas Mujawirin Al-Azhar. Di titik inilah semangatnya membara kembali sehingga ia dapat kembali menghafal Al-Qur'an hingga khatam beserta menerapkan tajwidnya dalam jangka waktu singkat. Selain Al-Qur'an ia juga berhasil menghafal matan-matan ilmu seperti Al-'Umdah, Alfiyah Al-Hadits, Alfiyah an-Nahw, Minhaj Al-Fiqh (kitab Minhaj dalam fan fikih), dan Minhaj al-Ashl (kitab Minhaj dalam fan Usul Fikih).

 

Ad-Diyami menyelami dan meminum lautan ilmu dari ulama-ulama ternama pada masanya, seperti:

        Syekh Syihabuddin As-Sakandari (dalam ilmu Qira'at);

        Syekh Al-’Abbadi (dalam fan Fikih), bahkan ia menjadi salah satu qurra'-nya;

        Syekh Al-Jamal bin Al-Mujbir;

        Syekh Ibnu Al-Majdi;

        Syekh Al-Qayati;

        Syekh Al-Wanna'i;

        Syekh Nuruddin Al-Warraq Al-Maliki (belajar Syarh Ibnu ‘Aqil dalam ilmu Nahwu);

        Syekh Zainuddin Thahir (dalam ilmu ‘arabiyah);

        Syekh Syihabuddin Al-Haitami (belajar Syarh Sahih Muslim li An-Nawawi, kepadanya ia bermulazamah);

        Syekh Syamsuddin Muhammad bin Umar Ad-Dinjihi Al-Azhari (belajar Shahih Al-Bukhari);

        Syekh Nuruddin At-Tilwani.

 

Mencari Hadis

Pada tahun 849 H, yakni usia Ad-Diyami sekitar 28 tahun (qamariah), ia memulai petualangannya dalam mencari hadis berguru kepada beberapa musnid. Ia banyak berguru pada dua musnid yang berumur panjang yaitu:

        Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Jamaluddin Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad bin Abu Ishaq Burhanuddin Ibrahim Al-Khathib Ar-Rasyidi atau dikenal Al-Hafizh Ar-Rasyidi, kepadanya Ad-Diyami berhasil mengkhatamkan Shahih Muslim;

        Burhanuddin Abu Ishaq Ibrahim bin Fathuddin Shadaqah bin Ibrahim bin Ismail Al-Hanbali Ash-Shalihi atau dikenal Al-Hafizh Ash-Shalihi, kepadanya Ad-Diyami berhasil mengkhatamkan Shahih Al-Bukhari dan Musnad Ahmad.


Keterangan ini berdasarkan pengakuan Al-Ghazzi dalam Al-Kawakib As-Sa'irah dan As-Sakhawi dalam Ad-Dhau' Al-Lami'. Selain itu Ad-Diyami juga berguru kepada Ibnu Al-Furat, Sarah binti Ibnu Jama’ah, Zainuddin Ridhwan, Shalahuddin Al-Hukri, Mujiruddin bin Adz-Dzahabi Ad-Dimasyqi, Zainuddin Ibnu As-Saffah.


Di luar semua guru yang disebutkan di atas, Ad-Diyami sudah barang tentu juga berguru kepada Sang AmiruI Mukminin dalam Hadis, Ibnu Hajar Al-’Asqalani. Kepadanya ia dapat mengkhatamkan Musnad Asy-Syihab dan sebagian besar Sunan An-Nasa'i.

 

Pergi Haji

Pada tahun 853 H, Ad-Diyami (sekitar usia 32 tahun) berangkat ke Haramain untuk menunaikan ibadah haji. Di sela-sela mukimnya di Haramain, ia mengunjungi beberapa ulama di dua kota suci itu.

        Di Madinah, di sana ia mengambil hadis dari Muhibbuddin Ath-Thabari, Abu Al-Faraj Al-Kazaruni, Jamaluddin At-Tustari, Abdulwahhab bin Muhammad bin Shalh. Di Madinah pula ia bisa membaca Shahih Al-Bukhari sampai khatam di Raudhah Rasulullah hanya dalam waktu empat hari. Kemudian ia meriwayatkan Asy-Syifa' dari Badruddin Al-Baghdadi, Qadhi Hanabilah.

        Di Makkah, di sana ia mengambil hadis dari Fathuddin Al-Maraghi, Zainuddin Al-Usyuthi.

Setelah mendapat banyak hadis dan bertemu banyak ulama di Haramain, Ad-Diyami pulang ke Kairo.

 

Kesibukan di Kairo

Pulang ke Kairo, Ad-Diyami kembali pada kesibukan sehari-harinya yaitu mengabdikan diri mengajar dan belajar di Al-Azhar. Di kalangan komunitas Mujawirin ia masyhur kepakarannya dalam bidang rijal hadis. Tidak sesimpel hafal nama-nama rijalnya, tapi ia juga tahu biografinya dari a sampai z hingga pelafalan nama rijal pun ia kuasai. Ketika Ad-Diyami menerangkan rijal dalam satu hadis maka ia akan menyebutkan satu bab yang berhuruf sama lalu memerinci satu-satu. Semisal: Bab Jarir, Jurair, Harir, Hurair, Hariz, Hazir, Huraiz, setelah itu ia menerangkan satu-satu dari nama-nama tadi.


Bahkan digambarkan bahwa orang yang mendengar keterangannya tadi tidak akan tahu apakah dia benar atau salah menyebutkannya, saking banyak dan jarang didengar nama-nama rijal yang keluar dari mulut Ad-Diyami. Karena kepakarannya dalam hadis, gurunya, Syekh Al-’Abbadi, mengamanatinya untuk mengajar hadis di Makam Sayid Ahmad Al-Badawi Thantha, sehingga ia sering bolak-bolak Thantha–Kairo.


Karena keahliannya dalam rijal hadis, ia sampai dipanggil gurunya, Ibnu Hajar Al-’Asqalani untuk memperdengarkan hafalan rijalnya di hadapan sang guru. Momen seperti ini sangat jarang terjadi dan Al-’Asqalani pun tidak akan menyuruh satu murid memperdengarkan hafalannya kecuali ia memang benar-benar sudah menguasai di luar kepala.


Reputasi Al-Hafizh Ad-Diyami semakin luas menyebar. Sehingga ia banyak diminta mengajar di mana-mana. Namanya tidak akan luput disebut oleh para pegiat ilmu hadis, muridnya ada di mana-mana, sehingga tidak heran namanya sampai ke telinga para penguasa.

 

Antara As-Sakhawi, Ad-Diyami, dan As-Suyuthi

Pada zaman yang sama ada tiga tokoh besar dalam hadis yang sama-sama murid Ibnu Hajar Al-'Asqalani. Mereka adalah Al-Hafizh As-Sakhawi, Al-Hafizh As-Suyuthi, dan Al-Hafizh Ad-Diyami.


Ibnu Hajar Al-’Asqalani menyebutkan bahwa Ad-Diyami termasuk dari sembilan orang yang diwasiatkan dan digelari ahli hadis. Klaim ini tentu bukanlah klaim biasa, ia muncul dari mulut seorang imam besar ilmu hadis di masanya. Sehingga kedudukan Ad-Diyami memang tinggi di kalangan ahli hadis. Selain itu As-Suyuthi pernah berkata, "Syekh Utsman Ad-Diyami itu hafal 20 ribu hadis.”

 

Sedangkan As-Sakhawi dan As-Suyuthi sudah terlalu terkenal dan terlalu banyak karya mereka untuk disebutkan reputasi dan pengakuan ulama terhadap mereka.


Terdapat dua bait unik yang mengisahkan perseteruan (dalam hal keilmuan) As-Suyuthi dan As-Sakhawi. Dalam salah satu bait, As-Suyuthi menyinggung nama Ad-Diyami yang dijadikan kiasan olehnya. Dua bait ini ditujukan As-Suyuthi untuk As-Sakhawi, begini bunyinya:

قل للسخاوي إن تعروك نائبة {} علمي كبحر من الأمواج ملتطم

والحافظ الديمي غيث السحاب فخذ {} غرفا من البحر أو رشفا من الديمي

"Katakan kepada As-Sakhawi, kalau kamu ada masalah (kemusykilan). Ilmuku laksana lautan dengan ombaknya yang saling menampar."

"Dan ada juga Al-Hafizh Ad-Diyami (kalau kamu tidak kuat menerima ilmuku yang laksana lautan itu) yang laksana rintikan hujan, maka ambillah. Seciduk air dari lautan (As-Suyuthi) atau setetes air dari hujan (Ad-Diyami)."

 

Ats-Tsa'alibi dalam kitabnya Kanz Ar-Ruwah Al-Majmu', sebagaimana dikutip oleh Abdulhayy Al-Kattani dalam kitab Fihris Al-Faharis. Di sana ia menyebutkan bahwa kata sebagian ulama, sebenarnya tiga orang ini (As-Sakhawi, Ad-Diyami, dan As-Suyuthi) adalah tokoh dalam bidangnya masing-masing dan saling melengkapi. As-Sakhawi tokoh dalam ‘Ilal Al-Hadist, Ad-Diyami dalam Asma' Ar-Rijal, dan As-Suyuthi dalam Hifzh Al-Mutun.

 

Hubungan Ad-Diyami dengan As-Sakhawi

Dalam beberapa hal As-Sakhawi sangatlah dekat dengan Ad-Diyami. Contohnya As-Sakhawi pernah mengklarifikasi bahwa antara dia dan Ad-Diyami ada hubungan saling mengasihi dan persaudaraan sudah sejak lama. Bahkan As-Sakhawi mengaku, ia dengan Ad-Diyami sering surat-menyurat, biasanya Ad-Diyami bertanya tentang apa yang musykil baginya lalu dijawab oleh As-Sakhawi.

 

Ad-Diyami juga mengirim putranya yang bernama Shalahuddin Muhammad untuk belajar kepada As-Sakhawi. Hingga As-Sakhawi beberapa kali menulis ijazah atau taqrizh yang diminta putra Ad-Diyami dan didalamnya terdapat berbagai macam pujian untuk ayahnya.

 

Sanjungan Para Ulama

Al-Hafizh As-Sakhawi menyebut Ad-Diyami dalam ijazahnya untuk putra Ad-Diyami dengan "Sayyid kami dan kekasih kami, yang saleh, guru para muhaddits, mufti orang-orang muslim, berkah para pelajar." Ibnu Al-Ghazi menyanjung sang guru dalam Fahrasah-nya dengan "Imam yang ‘allamah, mahkota para muhaddits, dan imam para musnid." Di lain tempat, Ibnu Al-Ghazi juga menyebutnya dengan "Syekh, imam, yang ‘allamah, Syaikhul-Islam, raja para ulama ternama, penghidup sunah Nabi ‘alaihissalam."

 

Murid-muridnya

Undangan untuk mengajar di mana-mana, barang tentu membuat Ad-Diyami mempunyai murid di mana-mana. Dari berbagai golongan baik itu pelajar khususnya para Mujawirin Al-Azhar, masyarakat awam, ibu-ibu, pejabat, orang Turki, dan lain-lain. 


Apalagi Ad-Diyami mempunyai putra bernama Shalahuddin Muhammad Ad-Diyami Al-Qahiri Asy-Syafi'i Al-Azhari, yang oleh Abdulhayy Al-Kattani dalam Fihris Al-Faharis disebut Ad-Diyami Ash-Shaghir. Ad-Diyami berhasil mendidik putranya — sebagaimana disebut di atas Ad-Diyami Ash-Shaghir juga dititipkan ayahnya untuk berguru ke As-Sakhawi — menjadi alim azhari yang bukan main-main hingga kecerdasannya diakui oleh sekaliber As-Sakhawi. 


Az-Zabidi menyebutnya, "Ia disifati dengan Al-Hafizh dan Al-’Arif, dengan himmah yang sempurna, ia belajar kepada As-Sakhawi dan ulama seangkatannya." Selain putranya, murid-murid Ad-Diyami di antaranya adalah Al-Burhan Ibnu ‘Aun, Abu Al-Faraj Fakh Al-Halabi, Syamsuddin Ad-Dawudi, Sayid Abdurrahim Al-’Abbasi Al-Islambuli dan masih banyak lagi.

 

Karya

Setelah dicari-cari, setidaknya ada tiga karya yang dinisbahkan ke Ad-Diyami. Yaitu pertama, kitab berjudul Al-Arba'in min Da'awat Sayyid Al-Mursalin. Kedua, manuskrip Shahih Al-Bukhari yang dibacakan dan diperdengarkan kepada Ad-Diyami. Ketiga adalah Fatwa Ad-Diyami yang menyertai manuskrip Shahih Al-Bukhari tadi.

 

Kitab Al-Arba'in min Da'awat Sayyid Al-Mursalin ini ditemukan manuskripnya di Khizanah Ilmiah Masjid Raya Kota Taza Maroko, tercatat nomor 1/543. Dalam indeks manuskrip di sana, manuskrip itu dinisbahkan kepada Jalaluddin As-Suyuthi, walaupun halaman pertama dari manuskripnya tertera nama ‘Utsman Ad-Diyami. Sayangnya Thariq Zukang, orang yang meneliti manuskrip ini, mengatakan bahwa penelitiannya hanya berdasarkan pada satu manuskrip di Khizanah Ilmiah Masjid Raya Taza saja, karena ia tidak bisa menemukan manuskrip lainnya. Ia juga berkata bahwa yang mendorongnya tetap meneliti manuskrip itu adalah keutuhan manuskrip dan tulisannya terbaca.

 

Sedangkan manuskrip Shahih Al-Bukhari itu dari Perpustakaan Sultanah Nurbanu, istri Sultan Salim II dan ibu Sultan Murad III, di manuskrip itu ditulis bahwa salinan Shahih Al-Bukhari ini telah dibacakan dan diperdengarkan kepada Ad-Diyami. Lalu fatwa Ad-Diyami yang terdapat di alukah.net ini berisi fatwa tentang rumuz yang digunakan para muhaddits untuk menyingkat lafaz-lafaz seperti akhbarani, haddatsani, qala dan seterusnya.


Namun As-Sakhawi mereportasekan dalam Adh-Dhau' Al-Lami' bahwa Ad-Diyami tidak berinisiatif untuk mengumpulkan ataupun menulis karya, sebab itulah As-Sakhawi tidak setuju kalau Ad-Diyami disebut muhaddits. Seakan-akan senada dengan As-Sakhawi, Al-Ghazzi dalam Al-Kawakib As-Sa'irah, Al-’Aidarus dalam An-Nur As-Safir, Abdulhayy Al-Kattani dalam Fihris Al-Faharis, dan Az-Zirikli dalam Al-A'lam, mereka semua tidak sama sekali menyebutkan Ad-Diyami punya karya tulis. Sehingga kitab Al-Arba'in min Da'awat Sayyid Al-Mursalin yang dinisbahkan kepada Ad-Diyami ini statusnya perlu ditinjau ulang.

 

Wafat

Di Kairo Ad-Diyami mengabdikan seluruh waktunya untuk agama, masyarakat, dan keluarga. Pengakuan As-Sakhawi bahwa Ad-Diyami lebih sebagai seorang yang saleh daripada ahli hadis, menunjukkan betapa saleh dan arifnya Ad-Diyami. Reportase As-Sakhawi juga di mana Ad-Diyami kerap bolak-balik Tanta–Kairo, mengajar di khanqah-khanqah, masjid-masjid, dan madrasah-madrasah, menunjukkan betapa perhatian Ad-Diyami kepada masyarakat. 


Dan berhasilnya Ad-Diyami mendidik putranya hingga keilmuannya diakui, menunjukkan perhatian khususnya kepada keluarga. Sungguh Ad-Diyami telah memenuhi dua hak: hak Allah dan hak adami (manusia) sehingga datang waktu di mana ia bisa bersua dengan Rabb-nya pada malam Senin tahun 908 H. Disebutkan oleh Ibnu Thulun bahwa Ad-Diyami turut disalati gaib di Masjid Al-Umawi, Damaskus seusai salat Jumat pada 2 Rajab 908 H. Hal ini menunjukkan betapa masyhur dan berpengaruhnya Ad-Diyami di kancah dunia. Makamnya berada di Jalan Baibars, Pasar Al-Azhar, Ad-Darb Al-Ahmar, Kairo. Tepatnya di depan Masjid Sayidi ‘Utsman Al-Haththabi. Semoga rahmat serta berkah Allah selalu terguyur di atas kuburnya.

 

Gambar makam, lokasi, dan maps-nya klik link di bawah:

Makam Syekh Fakhruddin Ad-Diyami


Daftar Pustaka

Syamsuddin As-Sakhawi, Adh-Dhau' Al-Lami' li Ahli Qarn At-Tasi'

Najmuddin Al-Ghazzi, Al-Kawakib As-Sa'irah bi A'yan Al-Mi'ah Al-'Asyirah

Abdulqadir Al-Aidarus, An-Nur As-Safir 'an Akhbar Al-Qarn Al-'Asyir

Muhammad Murtadha Az-Zabidi, Taj Al-’Arus min Jawahir Al-Qamus

Syihabuddin Al-’Ajami, Dzail Lubb Al-Lubab fi Tahrir Al-Ansab

Ali Al-’Imran, Al-Musyawwiq ila Al-Qira'ah wa Thalab Al-’Ilm

Abdulhayy Al-Kattani, Fihris Al-Faharis wa Al-Atsbat wa Mu'jam Al-Ma'ajim wa Al-Masyyakhat wa Al-Musalsalat

Ibn Ghazi, Fahrasah Ibn Ghazi

Abdulwahhab Asy-Sya'rani, At-Thabaqat As-Shughra

Muhammad Ramzi, Al-Qamus Al-Jughrafi li Al-Bilad Al-Mishriyyah

Fakhruddin Ad-Diyami, Al-Ahadits Al-Arba'in min Da'awat Sayyid Al-Mursalin

Khairuddin Az-Zirikli, Al-A’lam

Website alukah.net

 

Ahmad Wildan

Hay Sayidah Fathimah An-Nabawiyyah, Ad-Darb Al-Ahmar, Kairo

8 Jumadilawal 1446 H

Read More

04 November 2024

Syekh Ali Abdurraziq: Ulama Berpemikiran Progresif Lulusan Al-Azhar dan Oxford


Nama lengkapnya adalah Ali bin Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Abdurraziq Al-Azhari. Lahir pada tahun 1305 H/1888 M, di sebuah desa bernama Abu Jirj, Markaz Bani Mazar, Provinsi Al-Minya. Ia merupakan adik kandung dari salah satu Syekhul-Azhar yaitu Syekh Mushthafa Abdurraziq, Syekhul-Azhar ke-31.

 

Ali Abdurraziq lahir dari keluarga berilmu, juga tumbuh dalam lingkungan yang sangat mementingkan ilmu, terutama ilmu agama. Kakeknya, Abdurraziq, merupakan seorang qadhi (hakim) di Al-Bahnasa, sebuah daerah yang mempunyai peradaban besar sejak zaman dahulu. Ayahnya, Hasan Abdurraziq juga merupakan salah satu ulama serta politikus berpengaruh pada masanya. Ayahnya yang juga sahabat karib Muhammad Abduh itu merupakan ketua dewan perwakilan rakyat di wilayah Al-Minya. Bersama Muhammd Abduh, ia mendirikan sebuah organisasi yang dinamakan Jam’iyyah Al-Khairiyyah Al-Islamiyyah. Ia juga merupakan wakil ketua Hizb Al-Ummah (Partai Rakyat), sebuah partai yang didirikan untuk menandingi Hizb Al-Wathan (Partai Kebangsaan).

 

Perjalanan Keilmuan Ali Abdurraziq

Sebagaimana tradisi keilmuan ulama Al-Azhar, Ali Abdurraziq sudah hafal Al-Qur'an sejak kecil dan belajar di kuttab yang ada di desanya, kemudian ia melanjutkan pendidikanya di Al-Azhar. Di Al-Azhar ini Ali belajar berbagai disiplin ilmu, mulai dari ilmu syar’iyyat, aqliyyat maupun lisaniyyat kepada ulama besar yang ada di Al-Azhar pada saat itu, seperti Syekh Abu Khathwah dan Syekh Abu ‘Ilyan. Ali Abdurraziq dikenal tekun dan pandai saat ia di Al-Azhar, mempunyai cita-cita luhur untuk masa depannya.

 

Tidak hanya belajar di Al-Azhar saja, ia juga mengikuti perkuliahan yang ada di Universitas Mesir (yang sekarang menjadi American University), di sana ia belajar Sastra Arab kepada Prof. Carlo Alfonso Nallino dan juga belajar Perbandingan Bahasa Semit kepada Prof. Enno Littmann.

 

Setelah beberapa tahun belajar di Al-Azhar, akhirnya pada tahun 1911 M, ia memperoleh Syahadah Al-‘Alimiyyah di bidang Sastra Arab Universitas Al-Azhar. Setelah lulus ia juga sempat mengajar ilmu bayan (ilmu retorika) dan sejarahnya di Universitas Al-Azhar. Namun Ali Abdurraziq hanya beberapa bulan saja mengajar di Al-Azhar, karena pada tahun 1912 M, ia melanjutkan studinya di Universitas Oxford, Inggris. Di sana ia belajar ilmu ekonomi politik dan sosial. Selama di Inggris, Ali Abdurraziq banyak membaca dan mempelajari teori-teori Barat, terutama teori-teori politik sebagai bidang kajianya, di antaranya Teori Politik Thommas Hobbes dan John Locke. Pengalaman belajarnya di Inggris inilah yang memberikan pengaruh besar terhadap pemikirannya, terutama di bidang rasionalitas dalam berpikir, dan kebebasan dalam berpendapat, yang nantinya akan dia terapkan di Mesir.

 

Sebagai seorang Azhary yang juga mengenyam pendidikan di Oxford, Ali Abdurraziq seakan menyatukan dua peradaban besar, Peradaban Timur dan Peradaban Barat. Peradaban Timur dengan spiritualismenya dan Barat dengan materialismenya yang tentu saja merupakan dua unsur yang sangat berbeda menyatu dalam diri Ali Abdurraziq. Peradaban Timur ia jadikan sebagai akar keilmuan, sehingga ia mempunyai prinsip yang kuat. Sementara Peradaban Barat ia jadikan sebagai dahan, yang darinya Ali Abdurraziq mampu melahirkan berbagi pemikiran progresif. Ali Abdurraziq mengenyam pendidikan di Inggris selama kurang lebih tiga tahun, karena pada tahun 1915 M terjadi perang dunia I yang mengharuskannya kembali ke Mesir.

 

Perjalanan Karir Syekh Ali Abdurraziq

Sepulangnya dari Inggris, Syekh Ali Abdurraziq mulai meniti karirnya, baik dalam dunia pendidikan maupun politik. Karirnya dimulai ketika ia ditunjuk untuk menjadi seorang hakim di Mahkamah Al-Iskandariyyah Al-Islamiyyah (Pengadilan Agama Alexandria). Di sela-sela kegiatannya sebagai seorang hakim, ia juga mengajar Sastra di Ma’had Al-Dini Al-Iskandari. Pada tahun 1925 M, Syekh Ali Abdurraziq menerbitkan sebuah buku yang berjudul Al-Islam wa Ushul Al-Hukm Bahts fi Al-Khilafah wa Al-Hukumah fi Al-Islam (Islam dan Prinsip-Prinsip Pemerintahan: Kajian Tentang Kekhilafahan dan Pemerintahan dalam Islam).

 

Tidak lama buku ini terbit, timbul beberapa gejolak di masyarakat. Karena muatan buku ini sangatlah sensitif. Hingga gejolak ini mengakibatkannya dicopot dari jajaran ulama Al-Azhar, karena dinilai menyimpang dari prinsip-prinsip Islam dan Al-Azhar. Ironis, setelah kejadian itu ia kemudian terpilih menjadi anggota Majelis Perwakilan Rakyat Mesir, kemudian ia juga terpilih anggota Majelis Asy-Syuyukh (dewan senator). Keanggotaanya dalam dua majelis inilah yang mengantarkan Syekh Ali Abdurraziq menjabat sebagai Menteri Wakaf Mesir pada tahun 1947 M.


Terdapat cerita menarik dibalik peristiwa yang dialami Syekh Ali Abdurraziq tersebut, sebagaimana dituliskan oleh Syekh Ahmad Ali Thaha Rayyan, cerita tersebut ia dapatkan dari Syekh Muslim yang pada saat itu menjabat sebagai Ketua Komite Fatwa Al-Azhar, bahwa setelah peristiwa tersebut Syekh Muslim menemui Syekh Ali Abdurraziq. Dalam pertemuan tersebut Syekh Ali Abdurraziq mengatakan dan meyakinkan bahwa ia tidak menuliskan satu huruf pun dalam buku fenomenal itu. Tetapi yang menulis buku tersebut adalah sahabatnya sendiri, yaitu Dr. Thaha Husein. Dialah yang menuliskan buku tersebut dan menisbahkannya kepada Ali Abdurraziq. Demi menjaga persahabatan erat yang sudah terjalin di antara mereka berdua, Syekh Ali Abdurraziq memilih untuk tidak menceritakan hal tersebut ketika Sidang Komite Disiplin maupun setelahnya. Syekh Ali Thaha Rayyan menceritakan hal ini dengan maksud untuk menjaga nama baik keluarga Abdurraziq, keluarga yang kaya akan agama, ilmu, serta moralitas. Wallahu a’lam.


Syekh Ali Abdurraziq juga tercatat pernah menjadi dosen di Universitas Raja Fahd I (sekarang Universitas Kairo). Di Universitas tersebut ia menjadi dosen program doktoral Fakultas Syariah Islamiyyah, ia mengajar salah satu sumber hukum Islam, yaitu ijmak. Selain itu, ia juga tercatat menjadi anggota Majma’ Al-Lughah Al-'Arabiyyah (Pusat Studi Bahasa Arab), di dalamnya ia bergabung di berbagai komite, seperti Komite Kamus Al-Quran, Komite Aset, Komite Kamus Besar, Komite Bahasa Peradaban dan Komite Sastra.

 

Karya-karya Syekh Ali Abdurraziq

Selain Al-Islam wa Ushul Al-Hukm, Syekh Ali Abdurraziq juga memiliki beberapa karya yang dipublikasikan. Di antaranya adalah: Amali Ali Abdurraziq fi ‘Ilm Al-Bayan wa Tarikhihi, kitab tentang ilmu retorika dan sejarahnya. Kitab ini merupakan kumpulan dari materi kuliah yang ia sampaikan ketika mengajar di Universitas Al-Azhar. Al-Ijma’ fi Asy-Syari’ah Al-Islamiyyah (Ijmak Menurut Syariat Islam), buku ini juga merupakan kumpulan materi kuliah yang ia sampaikan saat mengajar di Program Doktoral Universitas Kairo. Dan Min Atsar Mushthafa Abdurraziq, sebuah buku yang menceritakan tentang kakaknya sendiri, yaitu Syekh Mushthafa Abdurraziq.

 

Wafatnya Syekh Ali Abdurraziq

Syekh Ali Abdurraziq wafat pada 24 Rabiulawal 1386 H yang bertepatan pada 13 Juni 1966 M. Ia kemudian dimakamkan di permakaman keluarga Abdurraziq, di Qarafah Sughra. Tempat yang sama di mana ayah, kakek, dan kakaknya, Mushthafa Abdurraziq dimakamkan.

 

Daftar Pustaka

Ahmad Thaha Rayyan. At-Tadzkir bi Jihad Qadah Al-Mu’assasah Al-Azhariyyah Al-Mubarakah. Kairo : Maktabah Al-Iman, 2017.

Muhammad Al-Bin’iyadi. Nahwa Fiqh li Al-Istighrab, Muqarabah Nazhariyyah wa Tarikhiyyah. Qatar: Dar Al-Kutub Al-Qathriyyah, 2009.

Muhammad 'Imarah. Al-Islam wa Ushul Al-Hukm li Ali Abdurraziq, Dirasah wa Watsa`iq. Beirut: Al-Mu`assasah Al-Arabiyyah li Al-Dirasat wa Al-Nasyr, 2000.

Muhammad Mahdi ‘Allam. Al-Majma’iyyun. Kairo: Hai`ah ‘Ammah li Syu`uni Al-Mathabi’ Al-Amitiyyah, 1966.

Sameh Karim. A’lam Mansiyyun. Kairo: Al-Hai`ah Al-Mishriyyah Al-‘Ammah li Al-Kitab.

Usamah al-Azhari, Jamharah A`lam Al-Azhar Asy-Syarif, Maktabah al-Iskandariyyah, Alexandria, 2019, vol. V.

 

Rendi Suweno


Read More

25 October 2024

Sayid Isa bin 'Abdulqadir Al-Jili: Penyebar Tarekat Al-Qadiriyyah di Mesir


Nama & Nisbah

Namanya adalah Syarafuddin, Abu Muhammad, Abu ‘Abdurrahman, Isa bin ‘Abdulqadir bin Abu Shalih Musa Al-Hasani Al-Jili Al-Baghdadi Al-Hanbali Al-Qadiri.

 

Nisbah Al-Hasani merujuk kepada Imam Al-Hasan bin Ali karena nasabnya bersambung ke sana. Tentang nasabnya, ada sebagian sejarawan yang menuliskannya sampai Imam Al-Hasan bin Ali, dan ada pula yang menuliskannya sampai Imam Al-Husain bin Ali. Namun yang rajih adalah yang pertama, sebagaimana riwayat Ibnu Al-Jauzi dalam Al-Muntazham. Karena Ibnu Al-Jauzi adalah orang yang sezaman dengan Sayid ‘Abdulqadir Al-Jili. Adapun nasab Sayid Isa secara lengkap adalah sebagai berikut.

 

Isa bin Abu Shalih Muhyiddin ‘Abdulqadir bin Abu Shalih Musa Ats-Tsalis bin Abdullah Al-Jili bin Yahya Az-Zahid bin Muhammad Al-Madani bin Daud Amir Makkah bin Musa Ats-Tsani bin Abdullah Abu Al-Makarim bin Musa Al-Jaun bin Abdullah Al-Mahdh bin Al-Hasan Al-Mutsanna bin Imam Al-Hasan bin Ali bin Abu Thalib.

 

Kendati yang rajih adalah nasabnya jalur ke Imam Al-Hasan bin Ali, ternyata nasab Sayid Isa juga bersambung ke Imam Al-Husain melalui jalur neneknya yang bernama Ummu Al-Khair Amatuljabbar Fathimah binti Abdullah Ash-Shauma’i. Adapun nasabnya secara lengkap adalah sebagai berikut.

 

Isa bin 'Abdulqadir bin Ummu Al-Khair Amatuljabbar Fathimah binti Abdullah Ash-Shauma'i bin Abu Jamaluddin Muhammad bin Mahmud bin Abu Al-’Atha’ Abdullah bin Kamaluddin Isa bin Abu ‘Ala’uddin Muhammad Al-Jawad bin Ali Ar-Ridha bin Musa Al-Kazhim bin Ja'far Ash-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zain Al-'Abidin bin Imam Al-Husain bin Ali bin Abu Thalib.

 

Selain itu Sayid Isa juga mempunyai hubungan nasab dengan Shahabah Abubakar Ash-Shiddiq dan Shahabah Umar bin Al-Khaththab. Diungkapkan oleh Syekh Yunus As-Samira’i bahwa nenek Sayid ‘Abdulqadir Al-Jili dari jalur ayah yang bernama Ummu Salamah itu adalah zuriah Shahabah ‘Abdurrahman bin Abubakar. Sedangkan Abdullah Al-Mahdh, salah satu nenek moyang Sayid ‘Abdulqadir itu punya ibu bernama Hafshah binti Abdullah bin Umar bin Al-Khaththab.

 

Nisbah Al-Jili bukan merujuk kepada tempat kelahiran Sayid Isa. Kemungkinan besar Al-Jili melekat pada namanya karena ayahnya, Syekh ‘Abdulqadir, yang telah masyhur dengan nisbah Al-Jili. Sedangkan jika ingin diteliti, nisbah Al-Jili sebenarnya merujuk kepada Desa Al-Jil, Kota Al-Mada’in, Irak. Bukan merujuk kepada Jilan, sebuah daerah di Thabaristan. Sehingga penisbahan Sayid ‘Abdulqadir dengan Al-Jilani menjadi tidak tepat.

 

Nisbah Al-Baghdadi merujuk kepada tempat kelahiran Sayid Isa yaitu Baghdad, Irak. Karena ayahnya, Sayid ‘Abdulqadir Al-Jili, hijrah dari Al-Jil, Irak ke Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Di Baghdad beliau berguru, membangun rumah tangga, hingga wafat di sana. Nisbah Al-Hanbali merujuk kepada Imam Ahmad bin Hanbal yaitu pendiri mazhab yang dianutnya. Sedangkan nisbah Al-Qadiri merujuk kepada tarekat Al-Qadiriyyah yang ia anut.

 

Mengenyam Pendidikan

Tidak diketahui secara pasti kapan Sayid Isa dilahirkan. Di dalam buku-buku sejarah pun tidak disebutkan sama sekali kehidupan masa kecil beliau. Namun setidaknya sejarawan mencatat beberapa nama guru dan murid Sayid Isa serta sedikit riwayat hidupnya.

 

Selayaknya putra seorang ulama besar, ia mendapatkan pendidikan pertama dari sang ayah mengenai dasar-dasar ilmu agama. Apalagi kredibilitas sang ayah sebagai seorang fakih, ahli hadis, dan sufi tidak ada yang menyangsikan. Selain kepada sang ayahanda, Sayid Isa juga berguru kepada ulama-ulama di kampung halamannya, Baghdad, seperti Syekh Abu Al-Hasan Muhammad bin Shirma, dan ulama-ulama ternama semasanya.

 

Sayid Isa sangat tekun belajar sehingga ia diizinkan untuk mengajar, meriwayatkan hadis, berceramah, dan berfatwa. Tidak kalah penting, Sayid Isa juga mendapatkan ijazah tarekat dari ayahnya sehingga ia bisa menyebarkan dan mengijazahkan tarekat Al-Qadiriyyah ke masyarakat luas.

 

Hijrah Ke Syam dan Mesir

Sepeninggal sang ayah, Sayid ‘Abdulqadir Al-Jili, yaitu pada 10 Rabiulakhir 561 H, Sayid Isa hijrah keluar Baghdad untuk mencari guru. Ia memasuki Syam pada tahun 562 H. Di ibukotanya, Damaskus, ia berguru kepada Syekh Ali bin Mahdi bin Al-Mufarrij Al-Hilali.

 

Setelah dari Syam, Sayid Isa hijrah ke Mesir. Di sana ia mendapat sambutan baik oleh ulama dan masyarakatnya. Sayid Isa mendirikan majelis dan mengajar masyarakat di sana. Banyak ulama yang menyerap ilmu darinya baik dari dalam maupun mancanegara. Sayid Isa adalah putra ulama ternama yang mendapat gelar Syaikh Baghdad (Guru Besar Negeri Baghdad), tentunya masyarakat Mesir sangat antusias untuk mendengarkan hadis yang didapat dari ayahnya. Ia pulalah yang memegang sanad tertinggi tarekat ayahnya Al-Qadiriyyah yang kelak akan tersebar luas ke pelosok dunia. Di antara muridnya di Mesir yang tercatat adalah:

     Syekh Abu Turab Rabi’ah bin Al-Hasan Al-Hadhrami Ash-Shan’ani

     Syekh Musafir bin Ya’mur Al-Mishri

     Syekh Hamid bin Ahmad Al-Artaji

     Syekh Ahmad bin Ahmad, paman dari Syekh Hamid Al-Artaji

     Syekh ‘Abdulkhaliq bin Shalih Al-Qurasyi Al-Umawi Al-Mishri

     Syekh Ahmad bin Maisarah bin Ahmad Al-Hallal Al-Hanbali

Selama di Mesir, Sayid Isa juga sempat pergi ke Al-Iskandariyyah dan mengambil riwayat hadis dari Al-Hafizh Abu Thahir As-Silafi.

 

Karya Tulis

Ada dua manuskrip yang dinisbahkan kepada Sayid Isa bin 'Abdulqadir Al-Jili. Manuskripnya dapat diperiksa di Dar Al-Kutub Al-Mishriyyah atau Perpustakaan Umum Mesir.

 

     Jawahir Al-Asrar wa Latha’if Al-Anwar (tentang ilmu tasawuf)

     Jawahir Al-Adab (tentang syiir dan balaghah)

 

Wafat di Mesir

Semenjak masuknya Sayid Isa ke Mesir, mazhab Hanbali semakin banyak pengikutnya dan tarekat Al-Qadiriyyah mulai banyak diikuti oleh masyarakat Mesir. Sehingga bisa dikatakan bahwa Sayid Isa bin ‘Abdulqadir Al-Jili adalah orang pertama yang menyebarkan tarekat Al-Qadiriyyah di Mesir. Mengenai tanggal wafat Sayid Isa ada perbedaan pendapat.

 

     Tanggal 12 Ramadan 573 H/11 Maret 1178 M, menurut Ibnu An-Najjar (w. 643 H) sebagaimana klaimnya bahwa tanggal tersebut tertera di nisan Sayid Isa di Qarafah Sughra;

     Tanggal 18 Ramadan 573 H/17 Maret 1178 M, menurut Sulaiman Al-Hawat bahwa ia mengutip dari Al-’Urf Al-’Athir milik ‘Abdussalam Al-Qadiri (w. 1698 H);

     Bulan Ramadan 591 H, menurut Adz-Dzahabi (w. 748 H) dalam Tarikh Al-Islam.

 

Pendapat yang kuat adalah yang pertama karena Ibnu An-Najjar adalah orang yang paling dekat dengan zaman Sayid Isa dan ia mengklaim telah melihat dengan mata kepalanya sendiri nisan Sayid Isa beserta tanggal wafatnya tertulis di situ. Sayid Isa meninggal di Kairo dan dimakamkan di Qarafah Sughra. Di kemudian hari dibuatlah masjid yang dikenal orang sekitar Masjid Sayidi Isa Abu Rummanah. Dimakamkan juga di dalam masjid, Syekh 'Ala'uddin bin Muhammad, cicit Sayid 'Abdurrazzaq bin 'Abdulqadir Al-Jili. Wa Allahu a'lam.

 

Gambar 1: Makam Sayid Isa bin 'Abdulqadir

Gambar 2: Masjid dan Makam Sayid Isa berada di Al-Basatin, Qarafah Sughra

Gambar 3: Tampak dalam Masjid dan Makam Sayid Isa bin 'Abdulqadir

Referensi

Az-Zirikli, Al-A'lam

Jamaluddin Falih Al-Kilani, Asy-Syaikh ‘Abdulqadir Al-Kilani Ru’yah Tarikhiyyah Mu’ashirah

Asy-Syathnufi, Bahjah Al-Asrar (Tahkik Jamaluddin Falih Al-Kilani)

Adz-Dzahabi, Tarikh Al-Islam

Hasan Qasim, Al-Mazarat Al-Islamiyyah

As-Sakhawi, Tuhfah Al-Ahbab

Sulaiman Al-Hawat, As-Sirr Azh-Zhahir

Muhammad bin Yahya At-Tadufi, Qala’id Al-Jawahir

‘Abdulqadir bin Muhammad Ath-Thabari, Kasyf An-Niqab

‘Abdurrazzaq Al-Kilani, Asy-Syaikh 'Abdulqadir Al-Jilani Al-Imam Az-Zahid Al-Qudwah


Ahmad Wildan

22 Rabiulakhir 1446 H

Hay Sayidah Fathimah An-Nabawiyyah, Ad-Darb Al-Ahmar, Kairo

Read More

18 October 2024

Syekh Muhammad Dimirdasy Al-Muhammadi: Pendiri Tarekat Ad-Dimirdasyiyyah Al-Khalwatiyyah


Namanya adalah Abu Abdillah, Syamsuddin, Muhammad Dimirdasy bin Abdullah Al-Muhammadi Al-Jarkasi Al-Hanafi Al-Khalwati Asy-Syadzuli. Al-Jarkasi adalah nisbah kepada kelompok etnis Jarkas atau Sirkas (Circassian), yaitu etnis yang berasal dari Sirkasia, wilayah di bagian barat laut Kaukasus, berbatasan dengan Laut Hitam. Al-Hanafi adalah nisbah kepada mazhab Imam Abu Hanifah, yaitu mazhab yang dianutnya. Al-Khalwati adalah nisbah kepada tarekat Al-Khalwatiyyah, yaitu tarekat yang dianutnya.


Nisbah Al-Muhammadi

Nisbah Al-Muhammadi adalah nisbah yang disandangkan kepada beliau karena kecintaan dan keranjingannya yang meluap-luap kepada Nabi Muhammad. Tidak luput sesaat pun beliau kecuali menyebut-nyebut Nabi Muhammad dan bersalawat kepadanya untuk meredakan radang di hatinya yang telah dipenuhi rindu kepada sang kekasih, Nabi Muhammad SAW.


Ahmad Rif’at bin Muhammad Amin Al-Isthambuli dalam buku Al-Lughat At-Tarikhiyyah wa Al-Jughrafiyyah menyebutkan ambil bagian Syekh Dimirdasy dalam renovasi Makam Agung Nabi Muhammad di Madinah pada masa Sultan Al-Asyraf Qaitbay. Hal ini menunjukkan hubungan batin Syekh Dimirdasy dengan Nabi Muhammad yang begitu kuat sehingga berhak beliau disandangkan nisbah ruhani Al-Muhammadi pada namanya.


Budak yang Jujur dan Amanah

Syekh Muhammad Dimirdasy pada mulanya adalah mamluk (budak) Sultan Qaitbay Al-Jarkasi, ia bekerja dan melayani sang sultan dengan senang hati, amanah, dan jujur. Diceritakan bahwa selesai bekerja untuk Sultan Qaitbay, Muhammad Dimirdasy selalu mematikan lampu yang ada di kamarnya, kemudian ia lanjut beribadah. Ketika ditanya mengapa ia mematikan lampu kamarnya, “Minyak ini untuk kebutuhan bekerja pada sang sultan, saya tidak berhak menggunakannya untuk selain itu.”

 

Menemukan Guru

Suatu hari Sultan Qaitbay mengutus Muhammad Dimirdasy untuk menyerahkan sekantong berisi beberapa dinar kepada Syekh Ahmad bin ‘Uqbah Al-Hadhrami. Tiba di kediaman Syekh Al-Hadhrami, beliau enggan menerima sekantong berisi dinar itu. Tapi Dimirdasy bersikeras meminta Syekh Al-Hadhrami untuk menerimanya. Akhirnya diterimalah kantong itu, tetapi kemudian beliau memegang erat kantong itu, memerasnya, seakan-akan memeras susu, dan sebuah kejadian di luar nalar terjadi. Kantong itu meneteskan dan mengucurkan darah segar. “Inilah emasmu!?” Ucap Syekh Al-Hadhrami. 


Melihat semua kejadian di luar nalar itu Dimirdasy terdiam, kosong, terheran-heran sekaligus takjub. Tanpa pikir panjang ia pun meminta maaf kepada Syekh Al-Hadhrami atas kelancangannya, dan pamit pulang, kembali kepada Sultan Qaitbay. Tidak lama dari kejadian itu Muhammad Dimirdasy memohon kepada sang sultan supaya dimerdekakan. Setelah merdeka ia berguru pada Syekh Ahmad bin 'Uqbah. Setelah merasa cukup ilmu yang diserap dari gurunya, Dimirdasy meminta izin pada gurunya untuk melanglang buana ke beberapa negeri mencari guru lain.

 

Berkelana ke Beberapa Negeri

Bebekal izin dari gurunya, Syekh Dimirdasy berkelana ke beberapa negeri. Hingga tibalah ia di Tibriz, salah satu kota yang paling masyhur di Adzrabijan. Di sanalah ia bertemu dengan sang guru yang ia cari yaitu Syekh Umar Dada Al-Aidini Ar-Rusyani At-Tibrizi Al-Khalwati. Tinggallah Syekh Dimirdasy di rumah Syekh Ar-Rusyani mengabdikan hidupnya untuk menyerap ilmu dari sang guru. Selama berguru kepadanya, Syekh Dimirdasy dianjurkan berzikir jahr (keras) sebagai ciri khas tarekatnya.

 

Hingga suatu hari, Syekh Umar Ar-Rusyani berpesan kepada muridnya, Syekh Dimirdasy, “Pulanglah ke Mesir sampai dekat waktunya!” Mendengar pesan sang guru, beliau langsung mengiyakan dan segera berangkat ke Mesir, kembali ke kampung halamannya.

 

Ke Tibriz yang Kedua Kali

Tidak berselang lama Syekh Dimirdasy kembali lagi ke Tibriz. Beliau tidak sendiri, Syekh Dimirdasy ditemani oleh dua sahabatnya, Syekh Syahin dan Syekh Santhbay. Ketiganya adalah sama-sama bangsa Sirkasia. Mereka lalu mendapat pengajaran dari sang guru, mereka disuruh berzikir sirr (pelan), mereka disuruh berkhalwat, hingga akhirnya mereka terbebas hatinya dari jeratan kawat dunia dan siap untuk menerima ijazah tarekat.

 

Mereka bertiga mendapat ijazah tarekat Al-Khalwatiyyah dari Syekh Umar Ar-Rusyani Al-Khalwati yang bersambung sanadnya hingga sang pemilik tarekat, Syekh Muhammad bin Nur Al-Khalwati Al-Khawarizmi. Setelah itu sang guru berpesan supaya mereka pulang ke Mesir menyebarkan manfaat dan ilmu kepada masyarakatnya.

 

Berdakwah dan Mendirikan Zawiah

Tiba di perbatasan memasuki Kairo (sekarang menjadi Distrik Al-'Abbasiyyah), Syekh Dimirdasy mengungkapkan keinginannya untuk menetap di tempat itu, “Saya tidak akan memasukinya (Kairo), tapi saya akan menetap di sini.” Tempat yang ditempati Syekh Dimirdasy ini nanti akan menjadi zawiah beliau, tempat ia berdakwah dan membimbing muridnya menempuh jalan menuju Tuhan. Akhirnya tiga sahabat ini berpisah di sini.

     Syekh Muhammad Dimirdasy Al-Khalwati memutuskan menetap di bagian seluaran Kairo karena hatinya berlabuh di sana;

     Syekh Syahin Al-Khalwati memutuskan menetap di lereng Bukit Al-Muqaththam, dekat Makam Syekh Umar bin Al-Faridh, karena hatinya berlabuh di sana;

     Syekh Santhbay Al-Khalwati memutuskan menetap di Madrasah As-Sunquriyyah di dekat Bab An-Nashr.

 

Mereka berpisah dan berdakwah dengan cara masing-masing. Kehidupan mereka pun berbeda satu sama lain. Namun ketenaran Syekh Dimirdasy sudah melingkupi Mesir dan beliau dikenal sebagai guru besar tarekat Al-Khalwatiyyah untuk seantero Mesir.

 

Gambar 1: Masjid Al-Muhammadi

Di Mesir Syekh Dimirdasy menikah, membangun rumah tangga, dan membangun zawiahnya. Dari istrinya, beliau dianugerahi tiga putra yaitu Muhammad, Ahmad, dan Mushthafa. Putra pertama di kemudian hari akan menjadi khalifah (pengganti) beliau dalam membimbing murid di bawah naungan tarekat Ad-Dimirdasyiyyah Al-Khalwatiyyah.

 

Di zawiahnyalah tempat ia menjadi guru mursyid untuk murid-murid yang sedang menempuh jalan menuju Tuhan. Syekh Dimirdasy menerapkan amalan bagi murid-muridnya supaya mengkhatamkan Al-Qur'an setiap hari sekali khataman lalu menghadiahkannya kepada Nabi Muhammad dan Syekh Muhyiddin Ibnu ‘Arabi. Beliau membagi beberapa kelompok, setiap kelompok membaca 20 hizb Al-Qur'an lalu dikhatamkan sebelum maghrib. Menurut Syekh Muhammad Zahid Al-Kautsari, dari sini dapat diambil keterangan bahwa Syekh Dimirdasy itu bermazhab Hanafi. Karena mazhab Hanafi berpendapat bahwa menghadiahkan pahala ibadah apapun bahkan bacaan Al-Qur'an itu boleh dan sampai kepada orang yang dimaksud.

 

Gambar 2: Tampak dalam Masjid Al-Muhammadi

Gambar 3: Di antara bingkai yang dipajang di dalam Masjid

Gambar 4: Bingkai yang memuat biografi singkat Syekh Dimirdasy

Gambar 5: Di antara bingkai yang dipajang di dalam Masjid 


Mengelola Kebun Buah

Satu hari Syekh Ibrahim Al-Matbuli mendatangi Syekh Dimirdasy dan berpesan, “Syekh, makanlah dari hasil usaha sendiri, dan jangan kamu makan dari sedekah manusia dan kotoran mereka! Karena nanti di akhirat kebaikanmu akan dibagi-bagi dengan mereka.” Datanglah Syekh Dimirdasy menemui Sultan Qaitbay, beliau meminta izin ingin menjadikan tanah kosong yang berada di dekat zawiahnya jadi kebun kurma. Sultan pun mengizinkan, segara setelah itu beliau memberitahu istrinya dan mulai menggarap tanah.

 

Menghasilkan Ulama dan Karya

Tarekat Syekh Dimirdasy semakin meluas dan menjangkau hampir seantero Mesir. Murid-muridnya bertebaran, zawiahnya penuh dihuni para salik yang sedang mencari jalan menuju Tuhan. Ada beberapa murid Syekh Dimirdasy yang terkenal dan meneruskan estafet kepemimpinan tarekat Al-Khalwatiyyah Ad-Dimirdasyiyyah, selain ketiga putranya.

  1. Syekh Jamaluddin, Muhammad bin Muhammad Dimirdasy Al-Khalwati
  2. Syekh Ahmad bin Muhammad Dimirdasy Al-Khalwati
  3. Syekh Mushthafa bin Muhammad Dimirdasy Al-Khalwati
  4. Syekh Hasan Al-Jarkasi Az-Zarkasyi Ar-Rumi Al-Khalwati Ad-Dimirdasyi;
  5. Syekh Muhammad Al-Hanuti Al-Khalwati Ad-Dimirdasyi;
  6. Syekh Karimuddin bin Az-Zayyat Al-Khalwati Ad-Dimirdasyi

 

Selain ta’lif qulub (mencetak murid), beliau juga ta’lif kutub (menulis kitab). Karya-karya banyak mengupas tentang ilmu tasawuf dan ilmu tauhid. Beberapa karyanya yang diketahui adalah:

     Al-Qaul Al-Farid fi Ma’rifah At-Tauhid

     Risalah fi Ma’rifah Al-Haqa’id wa Al-Ma’ani

     Tuhfah Ath-Thullab Ar-Ra’imin Hadhrah Al-Wahhab

     Majma’ Al-Asrar wa Kasyf Al-Astar


Pulang ke Ar-Rafiq Al-A’la

Syekh Muhammad Dimirdasy Al-Muhammadi pulang ke Hadirat Ar-Rafiq Al-A'la pada malam Kamis, 26 Zulhijah 929 H yaitu di antara waktu maghrib dan isya. Pendapat inilah yang benar dari beberapa pendapat tentang tanggal kewafatan beliau. Karena menurut Syekh ‘Abdulghani An-Nabulsi dalam rihlah-nya yang berjudul Al-Haqiqah wa Al-Majaz tanggal inilah yang terdapat dalam catatan tangan sang putra, Syekh Muhammad bin Muhammad Dimirdasy, mengenai wafatnya sang ayah.

 

Gambar 6: Area Kubah Masjid


Jenazah mulia Syekh Dimirdasy dimakamkan di zawiahnya yang di kemudian hari menjadi masjid yang dinisbahkan kepada beliau. Hingga sekarang masjid tersebut masih berdiri kokoh, dan zuriah Syekh Dimirdasy sampai sekarang masih ada. Di antara zuriah beliau yang punya jasa besar adalah Syekh ‘Abdurrahim Basya Ad-Dimirdasyi, Pendiri Rumah Sakit Ad-Dimirdasy, Hay Al-’Abbasiyyah, Kairo.


Gambar 7: Makam Syekh Muhammad Dimirdasy di area kubah Masjid

Referensi

Muhammad Zahid Al-Kautsari, Nibras Al-Muhtadi

‘Abdulwahhab Asy-Sya'rani, Ath-Thabaqat Al-Kubra

‘Abdulwahhab Asy-Sya'rani, Ath-Thabaqat Al-Wustha

‘Abdurra’uf Al-Munawi, Al-Kawakib Ad-Durriyyah

Najmuddin Al-Ghazzi, Al-Kawakib As-Sa’irah

‘Abdulghani An-Nabulsi, Al-Haqiqah wa Al-Majaz fi Rihlah Asy-Syam wa Mishr wa Al-Hijaz

Jalal Muhammad Hamadah, Tarajim A’yan Al-Usar Al-’Ilmiyyah fi Mishr


Ahmad Wildan

Sabtu, 16 Rabiulakhir 1446 H

Harah Zara An-Nawa, Hay Sayidah Fathimah An-Nabawiyyah, Ad-Darb Al-Ahmar, Kairo


Read More

16 October 2024

Di manakah Makam Syekh Ibnu Ar-Rif’ah?


Ada seorang pemerhati sejarah dan makam di Kairo bernama Husni Ja’far. Dalam akun facebook-nya ia menceritakan bahwa ada orang Mesir bernama Wa’il, ia terkejut kala mengetahui kalau di rumahnya terdapat makam sosok besar. Yang ia ingat bahwa neneknya pernah bercerita kalau dia melihat di kegelapan sesosok yang berpakaian putih bersih. Ternyata bukan hanya neneknya, sepupunya juga melihat sosok yang sama, berpakaian putih bersih di dalam rumah mereka. Husni Ja’far menganggap bahwa Ibnu Ar-Rif’ah dimakamkan di situ. Tentu bukan hanya berdasar cerita mulut yang ia ceritakan di atas saja. Ia turut menyajikan bukti dan data sejarah yang ia temukan. Lalu apakah benar klaim tersebut dan siapa Ibnu Ar-Rif’ah yang dimaksud. Penulis akan mencoba menguaknya di sini.

Siapa Ibnu Ar-Rif’ah?
Namanya adalah Najmuddin, Abu Al-‘Abbas, Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Murtafa’ bin Hazim bin Ibrahim bin Al-‘Abbas Al-Anshari Al-Bukhari Al-Mishri Asy-Syafi’i. Ia dilahirkan di Al-Fusthath pada 645 H. Berguru di antaranya pada Sadiduddin At-Tizmanti, Zhahiruddin At-Tizmanti, Asy-Syarif Al-‘Abbasi, Ibnu Daqiq Al-‘Id, Dhiya’uddin Ja’far bin ‘Abdurrahim Al-Qinawi, Ibnu Miskin, dan lainnya. Ia mengajar di Madrasah Al-Mu’iziyyah dan Madrasah At-Thaibarsiyyah, sekarang menjadi bagian dari Masjid Al-Azhar. Di akhir usianya, ia menjabat sebagai pengawas harga pasar di Kairo. 

Sudah barang tentu muridnya tidak sedikit di antaranya Najmuddin Al-Qamuli, Dhiya’uddin Al-Munawi, Syamsuddin Ibnu Al-Labban, Taqiyyuddin As-Subki, dan banyak lagi.
As-Suyuthi menyebutnya, “Satu-satunya di Mesir, tiga dari guru besar yaitu Ar-Rafi’i, An-Nawawi, dan Ibnu Ar-Rif’ah, yang dijadikan rujukan dalam tarjih (mazhab Syafi'i).” Al-Isnawi berkata, “Imam negeri Mesir, bahkan seluruh negeri, fakih pada zamannya di semua penjuru, Mesir belum pernah mengeluarkan, setelah Ibnu Al-Haddad, orang yang mendekati derajatnya, tidak diketahui di kalangan ulama Syafi’iyyah, setelah Ar-Rafi’i, orang yang sepadan dengannya secara mutlak, ia adalah keajaiban dalam mendatangkan kalam para Ashhab (murid-murid Imam Asy-Syafi'i), apalagi dari selain sumbernya, ia adalah keajaiban dalam memahami nas Asy-Syafi’i, dan ia juga keajaiban dalam kekuatan mentakhrij.” Ibnu Ar-Rif’ah meninggal di Kairo pada Rajab tahun 710 H.
  
Ia punya banyak karya, dua di antaranya adalah yang monumental:
Kifayah An-Nabih fi Syarh At-Tanbih (20 jilid)
Al-Mathlab Al-‘Ali fi Syarh Wasith Al-Ghazali (60 jilid), Ibnu Ar-Rif’ah wafat sebelum menyelesaikan kitab ini, lalu diselesaikan oleh muridnya, Najmuddin Al-Qamuli
An-Nafa’is fi Hadm Al-Kana’is
Al-Idhah wa At-Tibyan fi Ma’rifah Al-Mikyal wa Al-Mizan
Ar-Rutbah fi Al-Hisbah
Badzl An-Nasha’ih Asy-Syar’iyyah fima ‘ala As-Sulthan wa Wulah Al-Umur wa Sa’ir Ar-Ra’iyyah
Risalah Al-Kana’is wa Al-Biya’

Pandangan Sejarawan Hasan Qasim
Dalam Al-Mazarat Al-Islamiyyah, Hasan Qasim menyinggung suatu masjid yang bernama Masjid Ibnu Ar-Rif’ah. Terletak di Hikr Az-Zuhri, Sawiqah Shafiyyah, Hay Qawadis. Ada sebuah masjid yang didirikan oleh Syekh Fakhruddin, Ahmad bin Muhammad bin Ali Al-‘Adawi atau dikenal Ibnu Ar-Rif’ah pada 687 H/1288 M. Ulama ini dilahirkan 645 H/1247 M, ia mengajar fikih Syafi’i, dan di akhir usianya ia menjabat sebagai pengawas keuangan dan ekonomi di Kairo. Ia wafat pada 18 Rajab 710 H/1310 M. Masjid ini sudah roboh dan tidak berbekas, hanya menyisakan makamnya Ibnu Ar-Rif’ah hingga kini (masa Hasan Qasim). 

Warga sekitar mengenal makam ini dengan makamnya Syekh Qawadis di ‘Ithfah Qawadis, no. 30. Masjid ini berada di pinggir kolam yang dikenal, di kemudian hari, Kolam Ibnu Al-‘Azhamah. Sedangkan warga sekitar mengambil air di kolam ini dengan alat kincir air yang memiliki semacam ember (bahasa Arab: Qawadis). Hasan Qasim menyebutkan bahwa Al-Maqrizi juga menyebut masjid ini dalam khithath-nya. Ibnu Taghri Birdi menulis biografi Ibnu Ar-Rif’ah ini dalam Al-Manhal Ash-Shafi.

Walaupun Hasan Qasim tidak secara sarih menetapkan bahwa makam yang di dekat masjid itulah Makam Ibnu Ar-Rif’ah, tapi seakan-akan ia mengamini hal tersebut. Karena tidak ada koreksi darinya kala ia menjabarkan keterangan yang dinukilnya dari Al-Maqrizi. Penulis sudah mengunjungi tempat yang dimaksud yaitu di Gang Qawadis, Hay 'Abidin, dan memang tidak ada apa-apa, tidak ada bekas masjid yang tersisa.

Lokasi yang diduga Makam Syekh Ibnu Ar-Rif'ah di Hay 'Abidin
Gambar 2: Lokasi yang diduga Makam Syekh Ibnu Ar-Rif'ah di Hay 'Abidin

Pandangan Sejarawan Ali Basya Mubarak
Dalam menjelaskan nama-nama jalan yang dimulai dari akhir Jalan Ad-Dabr Al-Ahmar, dekat Bab Zawilah, hingga akhir Jalan Ash-Shanafiri, utara Masjid Ath-Thabbakh. Pada bagian keempat, yaitu Jalan Ghaith Al-‘Uddah. Ali Basya Mubarak menyebutkan bahwa di sini, dari arah kiri, ada sebuah harah (lorong), bernama Harah Qawadis. Di harah inilah terdapat Masjid Ibnu Ar-Rif’ah, masjid ini termasuk kuno. Al-Maqrizi menyebutkan bahwa masjid ini didirikan oleh Syekh Fakhruddin bin ‘Abdulmuhsin bin Ar-Rif’ah bin Abu Al-Majd Al-‘Adawi. Ali Basya Mubarak mengutip keterangan Al-Maqrizi berhenti di situ. 

Lalu ia berkomentar bahwa masjid ini sekarang sudah hancur dan tidak meninggalkan puing-puing yang menunjukkan tarikh berdirinya. Di dalamnya ada makam pendiri masjid yang sudah hancur juga, dan di arah lain yang berhadapan, ada makam di dalam tempat kecil yang dikenal Makam Syekh Qawadis. Sebab itu masjid ini dikenal dengan Masjid Qawadis.

Kemudian Ali Basya Mubarak di paragraf selanjutnya berkomentar bahwa Ibnu Ar-Rif’ah yang dimakamkan di masjid ini atau pendiri masjid ini bukanlah Ibnu Ar-Rif’ah yang masyhur kita kenal sebagai salah satu imam besar di kalangan ulama Syafi’iyyah.
Di bagian lain dalam khithath-nya, dalam pembahasan yang sama yaitu Masjid Ibnu Ar-Rif’ah dan redaksi yang intinya sama, Ali Basya Mubarak berkomentar begini, “Berdasarkan keterangan dari khithath-nya Al-Maqrizi maka Ibnu Ar-Rif’ah yang ini bukanlah Ibnu Ar-Rif’ah yang masyhur itu, yang dibiografikan dalam Husn Al-Muhadharah.”

Dari sini terlihat bahwa secara sarih Ali Basya Mubarak membatalkan asumsi yang awal bahwa di situlah Makam Ibnu Ar-Rif’ah. Bertolak belakang dengan Hasan Qasim dalam Al-Mazarat Al-Islamiyyah. Namun jika kita lihat lebih saksama, di situ ada perbedaan kutipan Al-Maqrizi dari Hasan Qasim dan Ali Basya Mubarak. Hasan Qasim mengutipnya Syekh Fakhruddin, Ahmad bin Muhammad bin Ali Al-‘Adawi atau dikenal Ibnu Ar-Rif’ah, sedangkan Ali Basya Mubarak Syekh Fakhruddin bin ‘Abdulmuhsin bin Ar-Rif’ah bin Abu Al-Majd Al-‘Adawi. Jika yang dimaksud Ibnu Ar-Rif’ah dalam teks Al-Maqrizi adalah salah satu imam besar Syafi’iyyah yang masyhur itu, maka Hasan Qasimlah yang benar. Namun tunggu dulu, sebelum menunjuk siapa yang rajih kita harus kembali pada sumber primer mereka berdua, yaitu Khithath Al-Maqrizi.

Kembali Pada Khithath Al-Maqrizi
Al-Maqrizi dalam khithath-nya menyebut bahwa Masjid Ibnu Ar-Rif’ah ini didirikan oleh Syekh Fakhruddin ‘Abdulmuhsin bin Ar-Rif’ah bin Abu Al-Majd Al-‘Adawi. Dalam ta’liq-nya, Dr. Fu’ad Aiman As-Sayyid menyebut bahwa masjid ini telah lama musnah dan sekarang tempatnya menjadi Masjid Qawadis, yang telah dijelaskan lalu. Dengan ini kita dapat mengatakan bahwa Ali Basya Mubarak adalah yang rajih. Sebab nama pendiri masjid yang dikutipnya sesuai dengan yang ada di Khithath Al-Maqrizi. Sedangkan Hasan Qasim tidak tepat dalam mengutipnya dan cenderung menggampangkan sehingga tampak menyamakan antara Ibnu Ar-Rif’ah di sini dan yang terkenal sebagai imam besar mazhab Syafi’i.

Di manakah Makam Ibnu Ar-Rif’ah?
Kembali pada topik awal yaitu di manakah makam Ibnu Ar-Rif’ah yang kita kenal sebagai imam besar dalam mazhab Syafi’i? Makam Ibnu Ar-Rif’ah dalam buku-buku tarajim atau thabaqat tidak tergolong masyhur. Berbeda dengan kebanyakan makam ulama yang terkenal sufi atau kewaliannya, makam mereka masyhur dan diberi lokasi presisinya oleh para penulis tarajim atau thabaqat. Ada sedikit tanda yang penulis temukan dalam thabaqat-nya Ibnu Qadhi Syuhbah (w. 851 H), ia menyebutkan dalam biografinya Ibnu Ar-Rif’ah bahwa ia wafat pada Rajab 710 H dan dimakamkan di Al-Qarafah. Tanpa menjelaskan lokasi presisinya. Lalu Ibnu Al-‘Imad Al-Hanbali (w. 1089 H) juga menyebutkan hal yang sama dalam Syadzarat Adz-Dzahab. Kemungkinan ia mengutip dari Ibnu Qadhi Syuhbah. Perlu diketahui bahwa ketika disebut Al-Qarafah, tanpa diberi kalimat selanjutnya, dalam buku-buku tarajim atau thabaqat maka yang dimaksud adalah Al-Qarafah Al-Kubra dan Ash-Sughra. Karena Qarafah itulah yang paling tua di Mesir dan sebutan Al-Qarafah itu hanya berlaku di Mesir saja, tidak di negara lain. Dengan demikian menurut pandangan penulis, berdasarkan sumber yang ada, Makam Ibnu Ar-Rif’ah bukan berada di Harah Qawadis, belakang Qism Syurthah ‘Abidin. Tapi ada di Al-Qarafah Al-Kubra atau Ash-Shughra, yaitu permakaman yang ada di bawah lereng bukit Al-Muqaththam, wilayah Makam Shahabah ‘Uqbah bin ‘Amir memanjang ke utara sampai Imam Asy-Syafi’i seterusnya itu. Namun sayang sekali Makam Ibnu Ar-Rif’ah belum diketahui secara presisi di mana lokasinya. Ada makam salah satu murid Syekh Ibnu Ar-Rif'ah yang diketahui lokasi presisinya yaitu Makam Syekh Syamsuddin Ibnu Al-Labban Asy-Syafi'i. Makamnya ada di Kawasan Al-Basatin yang juga masih masuk wilayah Qarafah Kubra. Bisa jadi Makam Syekh Ibnu Ar-Rif'ah ada di dekat makam muridnya itu, wa Allahu a'lam. Semoga rahmat serta keberkahan senatiasa menghujani kuburnya. Amin.
  
Referensi
Asy-Syaukani, Al-Badr Ath-Thali’
Al-‘Asqalani, Ad-Durar Al-Kaminah
Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah
Adz-Dzahabi, Dzuyul Al-‘Ibar
Ibnu Al-‘Imad Al-Hanbali, Syadzarat Adz-Dzahab
Hasan Qasim, Al-Mazarat Al-Islamiyyah
Ali Basya Mubarak, Al-Khithath At-Taufiqiyyah Al-Jadidah
As-Suyuthi, Husn Al-Muhadharah
Al-Maqrizi, Al-Mawa’izh wa Al-I’tibar
Ibnu Qadhi Syuhbah, Thabaqat Asy-Syafi’iyyah
Al-Isnawi, Thabaqat Asy-Syafi’iyyah
Al-Himyari, Ar-Raudh Al-Mi’thar
Al-Husaini, Thabaqat Asy-Syafi’iyyah
Az-Zirikli, Al-A'lam
Muhammad Hamzah Ismail Al-Haddad, Silsilah Al-Jabbanat
Husni Ja’far, Facebook

Ahmad Wildan
Kamis, 25 Juli 2024
Harah Zara An-Nawa, Hay Sayidah Fathimah An-Nabawiyyah, Ad-Darb Al-Ahmar, Kairo



Read More