(adik Sidna Hasan dan Sidna Hossein)
Suatu
malam setelah berbincang-bincang tentang sufisme dan para awliya Allah
Swt. Syaikh Sya'rawi bertanya padaku, "Sudahkah aku bercerita tentang
Sayyidah Zainab?"
"Saya belum pernah dengar, Maulana", jawabku.
Syaikh
Sya'rawi bercerita, "Aku bertetangga dengan Sittina Zainab selama 7
tahun, dari 1936 hingga 1942. Waktu itu, aku tinggal di Jalan Prince
Aziz dekat Benteng al-Kabsh, Distrik Sayyidah Zainab.
Aku
masih mahasiswa S1 yang sedang menyiapkan diri mengikuti ujian. Singkat
cerita aku jatuh sakit, sakit parah tak kunjung sembuh hingga
membuatku tak bisa mengikuti imtihan (ujian).
Sama halnya
imtihan semester awal, semester kedua juga terlewati. Jengkel bercampur
sedih lha wong aku selama ini sudah berusaha.
Aku bilang
ke Sayyidah Zainab, "Kita tinggal di sini, di sampingmu, Sittina!
Imtihan terlewati bahkan sampai semester kedua. Hilanglah sudah setahun
ini."
Sejak saat itu aku membenci Sayyidah Zainab. Aku
tak lagi salat di masjidnya, lebih memilih salat di sebuah zawiyah
(tempat kegiatan tasawwuf), namanya Zawiyah al-Habiba.
Terpisah
dari kisah sebelumnya, Syaikh Sya'rawi melanjutkan, "Kala itu aku
mempunyai seorang teman, salah satu al-Arif Billah; Syaikh Muhammad
'Abdul Fattah, seorang guru besar di fakultas Syariah.
Ia tiba-tiba mendatangiku tepat pada malam maulid. Ya, maulid Sayyidah Zainab, sebuah malam yang gegap gempita.
Ia bilang padaku dengan nada memerintah, "Segera berdiri dan pakai bajumu!"
Aku tanya, "Buat apa? Lagian mau ke mana sih?"
Ia tetap menyuruhku segera berdiri dan bersiap-siap.
"Baiklah kalau begitu, kita mau pergi ke mana?", tanyaku.
"Ke Sayyidah Zainab, akan kuhadapkan kau ke beliau dan segera islah (berbaikan/damai).
Aku terperanjak.
Bagaimana ia tahu aku masih jengkel pada Sittina Zainab?
Bagaimana ia tahu aku sekarang membencinya?
Ia membawaku dan kita pergi bersama ke makam Sayyidah Zainab.
Setelah masuk masjid, kami salat 2 rakaat baru ziarah, beruluk salam, dan menghabiskan malam di dalam masjid.
Pagi hari, kami pulang ke rumah, tidur, dan istirahat sejenak.
Di rumah, Syaikh Abdul Fattah tidur di kasur sedangkan aku di mebel ruang tamu.
Belum lama berlalu, aku mendengar suara pintu diketuk, membangunkanku dari mimpi indah. Siapa ini yang datang sepagi ini?
Aku bangun dan membuka pintu. Ternyata orang tuaku yang datang dari desa membawakan bekal.
Aku
persilakan masuk dan kusampaikan juga kenapa datang saat aku dapat
mimpi indah. "Aku tadi mimpi indah, Pak. Ya, saat Bapak datang tadi."
Bapak menanyakan dengan nada serius, "Mimpi apa, mimpi apa, nak?"
Kujawab, "Mimpi Sittina, iya, Sittina.".
Bapak
bertanya lebih serius, kedua tangannya sampai menggoncang pundakku,
"Kamu melihatnya tadi? Wajahnya terbuka atau tertutup?
"Apa maksudnya wajahnya terbuka atau tertutup?", tanyaku.
Bapak mengulangi pertanyaannya, "Wajah Sittina Zainab dalam mimpimu itu terbuka atau pakai penutup?"
"Terbuka"
Bapak memeluk dan menciumku.
Aku penasaran, "Maksudnya apa kalau wajahnya terbuka, Pak?".
"Itu berarti kita memang benar termasuk keluarganya, termasuk mahramnya, Nak!"
"Sittina pesan apa padamu?", tanya Bapak.
Kujawab
sambil memegang tangannya, kujelaskan bahwa ada orang yang sedang
tidur di kamar itu. Agar tidak terdengar dan membangunkannya, lebih
baik menjauh ke kamar yang lain.
Setelah itu, aku kaget
Syaikh Abdul Fattah bangun dan memanggilku. Aku dan syaikh belum sempat
bicara apapun, tapi ia tahu bahwa yang datang tadi ialah Bapakku dari
desa. Kemudian, langsung bertanya padaku dari atas kasur.
"Sittina bilang apa padamu? Coba ke sini ceritakan padaku..", kata Syaikh Abdul Fattah.
Kujawab, "Sittina bertanya apakah aku masih marah padanya? Begitu."
"Bapakmu bilang apa tadi?"
"Bapakku menanyakan apakah wajah Sittina Zainab terbuka atau berpenutup."
"Dan kamu bilang apa?", tanya Syaikh Abdul Fattah.
"Terbuka."
"Lalu Bapakmu bilang apa lagi?"
"Mimpiku pertanda kita benar-benar termasuk mahramnya, termasuk keluarganya."
Syaikh Abdul Fattah menyahut, "Benar, iya, benar. Sittina Zainab berpesan apa lagi?"
Kujawab,
"Setelah bertanya apakah aku masih marah padanya, Sittina melanjutkan:
Satu tahunmu yang lewat itu akan kami ganti menjadi lima."
"Lima ini maksudnya apa?", tanya Syaikh Abdul Fattah.
"Wallahu a'lam."
---
Syaikh Sya'rawi menegaskan ia tidak tahu apa maksud kalimat: Akan kami ganti menjadi 5 untukmu suatu saat.
Syaikh Sya'rawi melanjutkan, "Kejadiannya setelah aku lulus dari Al-Azhar dan bekerja sebagai pegawai golongan VI.
Saat
itu aturannya: promosi jabatan dapat dilaksanakan dengan menilai
berapa lama pengabdian dan kinerja di instansi terkait serta adanya 25%
kuota pegawai yang kosong.
Aku terkejut saat kenaikan
golonganku dari gol. VI ke gol. V itu dilaksanakan murni dengan
rekomendasi, tidak dengan syarat lamanya pengabdian.
Hari itu, aku langsung teringat kalimat Sayyidah Zainab "Kami akan menggantinya dengan 5 (lima)."
Hari itu juga aku izin dari kerjaku di kota Zaqaziq untuk bertolak ke Kairo, ziarah pada Sittina Zainab.
Di akhir cerita, Syaikh Sya'rawi berpesan,
"Ada
orang yang tidak percaya hal semacam ini, bahkan menganggap orang yang
menyampaikannya itu tidak waras, gila. Hal itu dapat dimengerti sebab
mereka belum pernah melihat sendiri."[]
***
Sumber: Madyafah Syaikh Ismail Shadiq al-Adawi
Alih Bahasa: Mu'hid Rahman.
FOTO: Syaikh Sya'rawi dan sahabatnya Baba Shenouda (kiri). |