[Dok. Ziarah Bab Nashr; 22 Aug '14 ]
Karamah Syeikh Ali al-Khawwash
(Kisah Tak Tertulis)
______________________________
Kisah terakhir dan lanjutan dari postingan tertanggal 27/08/'14..
Alkisah, sepasang suami-istri saat itu terhimpit keterbatasan ekonomi hingga sampai pada keputusan menjual cincin perhiasan yang mereka miliki.
Sang Suami hendak berangkat bekerja: mencari ikan di Sungai Nil. Cincin yang rencananya akan ia jual di pasar sudah ia simpan rapi di saku bajunya.
Rutinitas mencari ikan hari itu biasa saja baginya, kecuali sejak ia meraba saku yang tak lagi menyimpan cincin harapannya itu.
"Ke mana cincinnya?", ia mencari dengan gundah di setiap sudut perahu kecilnya. Tatapan matanya terhenti pada air bayangan wajahnya yang sedih bercampur panik dan bingung.
Sampai di rumah ia malah disambut kepanikan istrinya yang memberondong pertanyaan menyudutkan.
"Di mana?? Bagaimana bisa, mas?? Oh, kenapa ti..", ia sudah tidak paham apa lagi yang istrinya pertanyakan.
Esok hari, ia berziarah di makam Syeikh Ali al-Khawwash. Ia bertawassul dalam keluh kesah doanya, "Allah.. Cincin itu benar-benar sangat berharga bagi kami. Bisakah Engkau kembalikan pada kami? Dengan doaku di makam kekasih-Mu ini, Ya Allah.. kembalikan cincin satu-satunya milik kami itu. Ya Rabb.."
Ia tak langsung pulang. Ia berangkat menjalankan rutinitasnya di sungai: mencari ikan.
Tak lama bereselang, ia bertemu temannya yang mengajaknya berbincang, "Kamu sudah cari? Kamu yakin itu hilang di sungai? Kalau begitu, berdoalah, kawan.. Kalaupun kita tidak termasuk orang yang dekat dengan Tuhan, di sana itu ada orang yang menjadi kekasih-Nya, ia yang benar-benar dekat dengan Tuhan. Cobalah bertawassul dengannya."
"Sudah.", jawabnya.
Harapan satu-satunya sekarang adalah doanya bisa terkabul, meski jika dicerna akal terasa berat. Kemungkinannya seberapa: cincin sekecil diameter jari, hilang di sungai sebesar Nil, lantas berharap ketemu?
Di penghujung hari, ia pulang membawa hasil tangkapannya. Tak banyak. Sama seperti hari-hari biasanya. Namun, cukuplah untuk membuat dapur mengepul dan pantas disandingkan dengan 'isy (roti khas Mesir: makanan pokok).
Sampai rumah, ia menuju dapur memberikan hasil tangkapan itu pada istrinya untuk diolah.
Di tengah ia istirahat, istrinya berteriak histeris memanggilnya, "Mas..mas.. Ini bukannya cincin kita?? Ini mas!"
Istrinya menunjukkan cincin persis seperti yang hilang dengan tangan yang belepotan kotoran hasil mengolah ikan. "Ini, mas.. Ini! Ini cincin kita!"
"Iya?? Yang benar saja? Iya, itu cincinnya! Alhamdulillah.. Alhamdulillah Ya Rabb!", pada muka mereka membuncah kebahagiaan yang beberapa hari itu surut.
Di tengah kebahagiaan yang masih memancar, Sang Suami ingat dengan doanya di makam waliyullah Syeikh Ali al-Khawwash. Mendengar hal itu, istrinya pun mengiyakan inisiatifnya untuk tidak memakan satu ikan yang membawa kembali cincin mereka. Ia akan membersihkan dan menggantungnya di atas makam Syeikh Ali al-Khawwash.
"Aku akan pasang di sana agar para peziarah melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Allah Swt. memberikan karamah pada Syeikh Ali al-Khawwash bahkan meski ia telah wafat."
Terhitung sudah 200 tahun lebih semenjak kisah ini ramai di sekeliling warga sekitar dan para peziarah saat itu.
Tak ada secarik kertas pun yang mengabadikannya dalam tulisan. Cari saja di catatan sejarah manapun, di kitab biografi apapun, tak akan kita temui kisah ini.
Meski demikian, kisah ini tetap abadi dari satu guru ke muridnya, dari satu kakek ke cucunya. Bahkan bukan hanya kisahnya yang abadi, ikan yang ada dalam kisah ini pun masih terlihat jelas dan belum lapuk walau tidak ada orang yang berinisiatif mengawetkannya, misal dengan balsem atau semacamnya.[]
______________________________
Tidak ada paksaan untuk mempercayai kisah ini. Namun, kalau ingin mendengar sendiri kisahnya secara langsung, sekaligus melihat seperti apa wujud ikannya dari dekat. Berziarahlah dan temui imam masjidnya..
Sahabat sarkubmesir.net yang hendak berziarah, bisa meminta kunci pada kakek tukang laundry di depan masjid. Tak usah ragu, ia baik hati dan ikhlas bahkan menolak saat diberi alawah, seberapapun besarnya.
Karamah Syeikh Ali al-Khawwash
(Kisah Tak Tertulis)
______________________________
Kisah terakhir dan lanjutan dari postingan tertanggal 27/08/'14..
Alkisah, sepasang suami-istri saat itu terhimpit keterbatasan ekonomi hingga sampai pada keputusan menjual cincin perhiasan yang mereka miliki.
Sang Suami hendak berangkat bekerja: mencari ikan di Sungai Nil. Cincin yang rencananya akan ia jual di pasar sudah ia simpan rapi di saku bajunya.
Rutinitas mencari ikan hari itu biasa saja baginya, kecuali sejak ia meraba saku yang tak lagi menyimpan cincin harapannya itu.
"Ke mana cincinnya?", ia mencari dengan gundah di setiap sudut perahu kecilnya. Tatapan matanya terhenti pada air bayangan wajahnya yang sedih bercampur panik dan bingung.
Sampai di rumah ia malah disambut kepanikan istrinya yang memberondong pertanyaan menyudutkan.
"Di mana?? Bagaimana bisa, mas?? Oh, kenapa ti..", ia sudah tidak paham apa lagi yang istrinya pertanyakan.
Esok hari, ia berziarah di makam Syeikh Ali al-Khawwash. Ia bertawassul dalam keluh kesah doanya, "Allah.. Cincin itu benar-benar sangat berharga bagi kami. Bisakah Engkau kembalikan pada kami? Dengan doaku di makam kekasih-Mu ini, Ya Allah.. kembalikan cincin satu-satunya milik kami itu. Ya Rabb.."
Ia tak langsung pulang. Ia berangkat menjalankan rutinitasnya di sungai: mencari ikan.
Tak lama bereselang, ia bertemu temannya yang mengajaknya berbincang, "Kamu sudah cari? Kamu yakin itu hilang di sungai? Kalau begitu, berdoalah, kawan.. Kalaupun kita tidak termasuk orang yang dekat dengan Tuhan, di sana itu ada orang yang menjadi kekasih-Nya, ia yang benar-benar dekat dengan Tuhan. Cobalah bertawassul dengannya."
"Sudah.", jawabnya.
Harapan satu-satunya sekarang adalah doanya bisa terkabul, meski jika dicerna akal terasa berat. Kemungkinannya seberapa: cincin sekecil diameter jari, hilang di sungai sebesar Nil, lantas berharap ketemu?
Di penghujung hari, ia pulang membawa hasil tangkapannya. Tak banyak. Sama seperti hari-hari biasanya. Namun, cukuplah untuk membuat dapur mengepul dan pantas disandingkan dengan 'isy (roti khas Mesir: makanan pokok).
Sampai rumah, ia menuju dapur memberikan hasil tangkapan itu pada istrinya untuk diolah.
Di tengah ia istirahat, istrinya berteriak histeris memanggilnya, "Mas..mas.. Ini bukannya cincin kita?? Ini mas!"
Istrinya menunjukkan cincin persis seperti yang hilang dengan tangan yang belepotan kotoran hasil mengolah ikan. "Ini, mas.. Ini! Ini cincin kita!"
"Iya?? Yang benar saja? Iya, itu cincinnya! Alhamdulillah.. Alhamdulillah Ya Rabb!", pada muka mereka membuncah kebahagiaan yang beberapa hari itu surut.
Di tengah kebahagiaan yang masih memancar, Sang Suami ingat dengan doanya di makam waliyullah Syeikh Ali al-Khawwash. Mendengar hal itu, istrinya pun mengiyakan inisiatifnya untuk tidak memakan satu ikan yang membawa kembali cincin mereka. Ia akan membersihkan dan menggantungnya di atas makam Syeikh Ali al-Khawwash.
"Aku akan pasang di sana agar para peziarah melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Allah Swt. memberikan karamah pada Syeikh Ali al-Khawwash bahkan meski ia telah wafat."
Terhitung sudah 200 tahun lebih semenjak kisah ini ramai di sekeliling warga sekitar dan para peziarah saat itu.
Tak ada secarik kertas pun yang mengabadikannya dalam tulisan. Cari saja di catatan sejarah manapun, di kitab biografi apapun, tak akan kita temui kisah ini.
Meski demikian, kisah ini tetap abadi dari satu guru ke muridnya, dari satu kakek ke cucunya. Bahkan bukan hanya kisahnya yang abadi, ikan yang ada dalam kisah ini pun masih terlihat jelas dan belum lapuk walau tidak ada orang yang berinisiatif mengawetkannya, misal dengan balsem atau semacamnya.[]
______________________________
Tidak ada paksaan untuk mempercayai kisah ini. Namun, kalau ingin mendengar sendiri kisahnya secara langsung, sekaligus melihat seperti apa wujud ikannya dari dekat. Berziarahlah dan temui imam masjidnya..
Sahabat sarkubmesir.net yang hendak berziarah, bisa meminta kunci pada kakek tukang laundry di depan masjid. Tak usah ragu, ia baik hati dan ikhlas bahkan menolak saat diberi alawah, seberapapun besarnya.
Shollu ala Sidnannabi!