Julukan beliau ialah Syihabuddin dengan gelar Abul Fadhl yang dihadiahkan oleh sang ayah tercinta dengan harapan anaknya menjadi seperti kadi Mekkah kala itu; Abul Fadhl Muhammad bin Ahmad bin Abdul Aziz al-Aqili an-Nuwairi. Begitu juga beliau diberi gelar oleh gurunya Zainuddin al-Iraqi dengan gelar Abul Abbas.
Beliau dinisbatkan kepada kabilah al-Kinani sebagaimana yang beliau baca dari tulisan ayahnya sendiri (Red: Kinani -memakai huruf I- bukan kanani -dengan memakai huruf A-), begitu juga dinisbatkan kepada al-Asqalani di Palestina dekat dengan Gaza.
Beliau lahir di kediaman ayahnya di daerah Fustat, Mesir Kadimah, di tepian Sungai Nil, tepatnya di dekat Haret Darunnuhas dan kubri (jembatan penyeberangan) al-Malik as-Salih.
Kelahiran
Kelahiran beliau terdapat beberapa ikhtilaf pada tanggalnya, dikatakan bahwa beliau lahir pada tanggal 2 Syaban (Al-Syaukani), ada juga yang mengatakan tanggal 12 (Al-Suyuthi & Al-Sakhawi), atau tanggal 13 (Ibnu Fahd), begitu juga As-Sakhawi dalam kitabnya yang berjudul ‘Al-Jawahir Waddurar fi Tarjamati Syaikhil Islam Ibnu Hajar’ menyebutkan bahwa beliau lahir pada 22, - wallahu a'lam-, dan semuanya sepakat akan kelahiran mutarjam pada bulan Sya’ban tahun 773 H, sebagaimana sang mutarjam (tokoh yang ditulis) juga menuturkan demikian.Beliau lahir di kediaman ayahnya di daerah Fustat, Mesir Kadimah, di tepian Sungai Nil, tepatnya di dekat Haret Darunnuhas dan kubri (jembatan penyeberangan) al-Malik as-Salih.
Masa Pertumbuhan & Menuntut Ilmu
Dididik oleh keluarga yang mengenal agama dengan baik dan seorang ayah yang baik. Sang ayah, yang bernama Ali ialah orang yang sangat cinta kepada ilmu dan para ulama. Beliau banyak belajar dan menuntut ilmu dengan ulama zamannya seperti Ibnu Sayyidinnas Sahibussirah, Badruddin Ibnu Jama'ah, Ibnu Aqil, dan lain-lain.
Sang Ayah sangat tekun dalam belajar berbagai fan keilmuan. Di sini pepatah ‘buah jatuh tak jauh dari pohonnya’ bukan lagi sebuah mitos, dari kegigihan sang ayah serta kesungguhannya, secara tidak langsung menular kepada sang anak.
Sang Ayah sangat tekun dalam belajar berbagai fan keilmuan. Di sini pepatah ‘buah jatuh tak jauh dari pohonnya’ bukan lagi sebuah mitos, dari kegigihan sang ayah serta kesungguhannya, secara tidak langsung menular kepada sang anak.
Ibnu Hajar kecil telah ditinggal ayahnya ketika berumur 4 tahun, bahkan oleh sang ibu sebelum berumur 4 tahun. Ketika itu sang ayah pergi berhaji dan ziarah ke Baitul Maqdis bersama Ibnu Hajar kecil, menetap di sana beberapa pekan pada tahun 777 H. Ternyata Allah berkehendak bahwa sang ayah akan wafat pada tahun itu. Sebelum wafat, sang ayah berwasiat kepada sahabatnya Zakiyuddin Abu Bakar bin Ali al-Kharrubi, seorang pedagang, menitipkan Ibnu Hajar agar diasuh setelah dirinya tiada.
Pada umurnya yang ke-5, yakni setahun setelah kepergian sang ayah, Ibnu Hajar dimasukkan ke lembaga pendidikan Islam untuk mempelajari dan menghafal Alquran dan menyelesaikannya pada umur 9 tahun. Ia memulai mengimami salat tarawih pada umur 12 tahun.
Di negeri Hijaz di bawah naungan Zakiyuddin al-Kharrubi ini -yang ketika itu sedang menetap di Hijaz bersamanya- beliau mulai mengambil kesempatan ini untuk mempelajari ilmu-ilmu agama dengan pembesar ulama Hijaz seperti Shahih al-Bukhari kepada Syekh Afifuddin an-Nasyawiri dan diberi ijazah akan hal tersebut.
Pada umurnya yang ke-5, yakni setahun setelah kepergian sang ayah, Ibnu Hajar dimasukkan ke lembaga pendidikan Islam untuk mempelajari dan menghafal Alquran dan menyelesaikannya pada umur 9 tahun. Ia memulai mengimami salat tarawih pada umur 12 tahun.
Di negeri Hijaz di bawah naungan Zakiyuddin al-Kharrubi ini -yang ketika itu sedang menetap di Hijaz bersamanya- beliau mulai mengambil kesempatan ini untuk mempelajari ilmu-ilmu agama dengan pembesar ulama Hijaz seperti Shahih al-Bukhari kepada Syekh Afifuddin an-Nasyawiri dan diberi ijazah akan hal tersebut.
Rihlah Ilmiah
Setelah beberapa tahun tinggal di negeri Hijaz, beliau akhirnya pulang ke tanah-air tercinta untuk mengarungi lautan ilmu di kota Kairo.
Di Kairo beliau kemudian menikah dan menetap di dekat Babul Qantharah daerah Bab Al-Syariyah dekat dengan madrasah gurunya Sirajuddin al-Bulqini.Disana masih ada masjid beliau hingga kini.
Dari Kairo beliau kembali rihlah ke kota Alexandria pada akhir tahun 797 H, lalu ke Yaman pada tahun 799 H, hingga pergi haji ke baitullah, kembali ke Kairo. Kemudian pergi ke Yaman untuk kedua kalinya pada tahun 806 H, negeri Syam, dan lain-lain, lalu kembali untuk keberapa kalinya ke kota Kairo hingga akhir hayatnya.
Perjalanan rihlah Imam Ibnu Hajar secara terperinci, rasanya, tak dapat tangan ini tuliskan, karena rihlahnya dipenuhi faedah tiap waktunya dan cukup untuk menyebutkannya sesuai keadaan dan kemampuan.
Metode rihlah telah ada sejak zaman dahulu. Rihlah ke beberapa negeri yang sebagaimana ulama-ulama terdahulu mewasiatkan untuk menuntut ilmu di tempat lain agar siap terjun di masyarakat kelak.
Ada juga ulama Al-Azhar lainnya, seperti Zainuddin al-Iraqi, beliau mendalami ilmu hadits kepadanya mulazamah (menyertai secara kontinu) selama 10 tahun, hingga sang guru memberi izin beliau boleh mengajarkan Hadits dan Ulumul Hadits.
Adapun ilmu Qiraat serta tajwid, beliau mulazamah kepada gurunya Burhanuddin Ibrahim at-Tanukhi, dan masih banyak lagi.
Di Negeri Yaman beliau bertemu dengan sahib Qamus al-Muhith Imam Muhammad bin Yaqub Fairuz Abadi dan mengambil ijazah kitab Qamus tersebut
Di negeri Syam beliau belajar kepada Imam Qiraat ternama Ibnul Jazari dan belajar beberapa pekan di madrasahnya pada tahun 802 H dan pada tahun 836 H setelah 3 tahun wafat gurunya Ibnul Jazari.
Dan guru-guru lainnya yang tidak bisa disebutkan satu-persatu yang jumlahya mencapai 630 guru sebagaimana yang dituturkan oleh murid dekatnya As-Sakhawi.
Begitu juga di masjid-masjid, seperti: al-Azhar ia menjadi Imam dan Khathib disana, masjid Al-Asyraf Qaitbay, masjid al-Hakim bi Amrillah dan juga di masjid Baybars sebagaimana yang saya dengar dari Syekhuna Hisyam al-Kamil -hafidzahullah-.
Untuk kitab Fathul Bari, di sana ada keistimewaan tersendiri. Kitab ini mulai beliau tulis ketika umur 44 tahun (817 H) dan selesai dalam kurun waktu 26 tahun, yaitu ketika umur beliau telah mencapai 69 tahun (842 H).
Setelah Ibnu Hajar menyempurnakan Fathul Bari, beliau mengadakan walimah besar-besaran sebagai wujud rasa kegembiraan dan syukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah Swt. atas selesainya penulisan kitab tersebut.
Walimah ini bertempat luar Kairo, antara Kum ar-Risy dan Minyah Syerig (daerah antara Kairo dan Syubro sekarang). Di Walimah ini beliau mengundang semua Alim-Ulama, para pembesar dan penguasa, para cendekiawan, masyarakat Mesir dan lain sebagainya yang tidak bisa disebutkan berapa banyak yang datang kala itu.
Walimah ini mengahabiskan dana sebesar 500 dinar (dengan hitungan dinar pada masa itu), beliau menyediakan segala macam makanan, minuman, buah-buahan dan manis-manisan. -subhanallah-.
Sakit yang dialami seorang ulama Rabbani juga turut dirasakan oleh para pecintanya. Masyarakat berlalu lalang keluar masuk rumah untuk menjenguk dan melihat keadaan beliau, baik gubernur, staf pemerintahan, para ulama dan murid-murid beliau, hingga masyarakat umum setempat.
Pada hari jumat terakhir, beliau tetap pergi salat Jumat di Masjid al-Hakim Bi Amrillah, Bab Al-Futuh, di dekat kediaman beliau, di saf pertama, tepatnya di ruwaq Basmalah. Sehabis salat beliau juga tetap menyempatkan diri menjawab pertanyaan masyarakat awam.
Tepatnya pada malam Sabtu, 18 Dzul Hijjah 852 H., selepas menjalankan ibadah salat Isya, beliau bersama keluarganya dan beberapa orang yang hadir membaca surat Yasin bersama-sama, hingga sampai pada ayat “Salamun Qaulan Min Rabbirahim” akhirnya beliau menghembuskan nafas untuk yang terakhir kali. Beliau disalatkan esok harinya sebelum salat Dzuhur yang diimami langsung oleh Sang Sultan.
Setelah disalatkan dan jenazah dibawa ketempat akhirnya, langit berubah menjadi mendung dan rintik. Semua menangis akan kepergian sang Imam. Pasar-pasar dan toko-toko ditutup demi menghormati almarhum. Semua penduduk baik muslim maupu non-muslim ketika itu melayat jenazahnya hingga ke liang lahat. Jangan tanya berapa banyak orang yang hadir ketika itu. Semuanya dalam keadaan bersedih, kehilangan sosok yang dicintainya.
Sang Imam dimakamkan di Qarafah Shughra di belakang Masjid Imam Syafii dan sebelum menuju makam Sidi Uqbah bin Amir al-Juhani Sahabat Nabi Saw.
Setelah selesai dimakamkan, para pelayat membaca doa dan dzikir bersama-sama, mengkhatamkan Alquran dan lain-lain. Hal tersebut terus dilakukan selama seminggu dengan berkali-kali khataman tanpa bisa dihitung sudah berapa khataman. Bahkan Imam Jalaluddin as-Mahalli memanggil masyarakat berkumpul ke rumahnya untuk khataman Alquran dan menghadiahkannya spesifik kepada almarhum.
"Mautul Alim - Mautul Alam"
~ Semoga Allah selalu memberi manfaat kepada kita semua akan keilmuannya, Amiin ~
Al-Hay Al-'Asyir, Selasa, 13 Agustus 2019
Amirul Mukminin
===============
Sumber: Al-Jawahir Waddurar, ad-Dhau’ul Lami’ li Ahlil Qarnittasi’, Raf’ul Ishr ‘an Qudhoti Misr, Lahadzul Alhadz Dzail Thabaqat al- Huffadz, Nadzmul ‘Iqyan fi A’yanil A’yan, al-Manhalusshafi dan al-Badrutthali’ min Ba’dil Qarnissabi’.
Dari Kairo beliau kembali rihlah ke kota Alexandria pada akhir tahun 797 H, lalu ke Yaman pada tahun 799 H, hingga pergi haji ke baitullah, kembali ke Kairo. Kemudian pergi ke Yaman untuk kedua kalinya pada tahun 806 H, negeri Syam, dan lain-lain, lalu kembali untuk keberapa kalinya ke kota Kairo hingga akhir hayatnya.
Perjalanan rihlah Imam Ibnu Hajar secara terperinci, rasanya, tak dapat tangan ini tuliskan, karena rihlahnya dipenuhi faedah tiap waktunya dan cukup untuk menyebutkannya sesuai keadaan dan kemampuan.
Metode rihlah telah ada sejak zaman dahulu. Rihlah ke beberapa negeri yang sebagaimana ulama-ulama terdahulu mewasiatkan untuk menuntut ilmu di tempat lain agar siap terjun di masyarakat kelak.
Guru
Di Mesir, beliau memiliki banyak guru baik secara riwayah (transmisi-keilmuan), dirayah (transmisi-kecakapan) dan tazkiyah (transmisi budi-pekerti). Beliau belajar dengan para pembesar ulama Al-Azhar dan Mesir pada masa itu, seperti Ibnul Mulaqqin dan Sirajuddin al-Bulqini. Kepada keduanya beliau mengaji ilmu fikih dan semua yang berkaitan dengan kaidah dan Ushul Fiqih, begitu juga mengambil fiqih dari Burhanuddin al-Embasi.Ada juga ulama Al-Azhar lainnya, seperti Zainuddin al-Iraqi, beliau mendalami ilmu hadits kepadanya mulazamah (menyertai secara kontinu) selama 10 tahun, hingga sang guru memberi izin beliau boleh mengajarkan Hadits dan Ulumul Hadits.
Adapun ilmu Qiraat serta tajwid, beliau mulazamah kepada gurunya Burhanuddin Ibrahim at-Tanukhi, dan masih banyak lagi.
Di Negeri Yaman beliau bertemu dengan sahib Qamus al-Muhith Imam Muhammad bin Yaqub Fairuz Abadi dan mengambil ijazah kitab Qamus tersebut
Di negeri Syam beliau belajar kepada Imam Qiraat ternama Ibnul Jazari dan belajar beberapa pekan di madrasahnya pada tahun 802 H dan pada tahun 836 H setelah 3 tahun wafat gurunya Ibnul Jazari.
Dan guru-guru lainnya yang tidak bisa disebutkan satu-persatu yang jumlahya mencapai 630 guru sebagaimana yang dituturkan oleh murid dekatnya As-Sakhawi.
Murid
Murid-murid beliau begitu banyak, dan sebahagian daripada murid-murid beliau yang masyhur hingga kini seperti: Syamsuddin as-Sakhawi, Zakaria al-Anshari, Fakhruddin ad-Daimi, Jalaluddin al-Mahalli, Ibnu Taghri Bardi, Burhanuddin al-Buqa'i, Kamaluddin ibnul Humam, Taqiyyuddin ibnu Fahd, dll.Kedudukan
Sang Imam Mutarjam orang yang sangat berpengaruh asbab keilmuannya. Beliau mengajar di beberapa tempat seperti di Madrasah Al-Jamaliah Al-Jadidah, Madrasah Baybarsiyah dan menjadi kepala-sekolah di sana; Madrasah Muayyadiyah.Begitu juga di masjid-masjid, seperti: al-Azhar ia menjadi Imam dan Khathib disana, masjid Al-Asyraf Qaitbay, masjid al-Hakim bi Amrillah dan juga di masjid Baybars sebagaimana yang saya dengar dari Syekhuna Hisyam al-Kamil -hafidzahullah-.
Karangan
Beliau meninggalkan beberapa karangan, yang paling terkenal dan dipelajari pelosok dunia Islam seperti Fathul Bari, Bulughul Maram, Nukhbatul Fikr, yang karangannya mencapai kurang lebih 289 karangan sebagaimana yang dituturkan Syekh Abdussattar dan 282 menurut Syekh Syakir Mahmud.Untuk kitab Fathul Bari, di sana ada keistimewaan tersendiri. Kitab ini mulai beliau tulis ketika umur 44 tahun (817 H) dan selesai dalam kurun waktu 26 tahun, yaitu ketika umur beliau telah mencapai 69 tahun (842 H).
Setelah Ibnu Hajar menyempurnakan Fathul Bari, beliau mengadakan walimah besar-besaran sebagai wujud rasa kegembiraan dan syukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah Swt. atas selesainya penulisan kitab tersebut.
Walimah ini bertempat luar Kairo, antara Kum ar-Risy dan Minyah Syerig (daerah antara Kairo dan Syubro sekarang). Di Walimah ini beliau mengundang semua Alim-Ulama, para pembesar dan penguasa, para cendekiawan, masyarakat Mesir dan lain sebagainya yang tidak bisa disebutkan berapa banyak yang datang kala itu.
Walimah ini mengahabiskan dana sebesar 500 dinar (dengan hitungan dinar pada masa itu), beliau menyediakan segala macam makanan, minuman, buah-buahan dan manis-manisan. -subhanallah-.
Wafat
Sidi Ibnu Hajar mulai sakit tua dimulai ketika bulan Dzul Qa’dah tahun 852 H. Dengan keadaannya tersebut, tidak menyurutkan semangat beliau untuk terus mengajarkan ilmu kepada murid-muridnya. Baru ketika sakitnya mulai benar-benar parah, beliau mulai banyak uzur dalam segala hal, baik dari mengajar, salat yang mulai dengan posisi duduk dan ibadah lainnya. Terkecuali dalam keadaannya yang bertambah parah tersebut, beliau tidak pernah meninggalkan salat jamaah dan salat Jumat.Sakit yang dialami seorang ulama Rabbani juga turut dirasakan oleh para pecintanya. Masyarakat berlalu lalang keluar masuk rumah untuk menjenguk dan melihat keadaan beliau, baik gubernur, staf pemerintahan, para ulama dan murid-murid beliau, hingga masyarakat umum setempat.
Pada hari jumat terakhir, beliau tetap pergi salat Jumat di Masjid al-Hakim Bi Amrillah, Bab Al-Futuh, di dekat kediaman beliau, di saf pertama, tepatnya di ruwaq Basmalah. Sehabis salat beliau juga tetap menyempatkan diri menjawab pertanyaan masyarakat awam.
Tepatnya pada malam Sabtu, 18 Dzul Hijjah 852 H., selepas menjalankan ibadah salat Isya, beliau bersama keluarganya dan beberapa orang yang hadir membaca surat Yasin bersama-sama, hingga sampai pada ayat “Salamun Qaulan Min Rabbirahim” akhirnya beliau menghembuskan nafas untuk yang terakhir kali. Beliau disalatkan esok harinya sebelum salat Dzuhur yang diimami langsung oleh Sang Sultan.
Setelah disalatkan dan jenazah dibawa ketempat akhirnya, langit berubah menjadi mendung dan rintik. Semua menangis akan kepergian sang Imam. Pasar-pasar dan toko-toko ditutup demi menghormati almarhum. Semua penduduk baik muslim maupu non-muslim ketika itu melayat jenazahnya hingga ke liang lahat. Jangan tanya berapa banyak orang yang hadir ketika itu. Semuanya dalam keadaan bersedih, kehilangan sosok yang dicintainya.
Sang Imam dimakamkan di Qarafah Shughra di belakang Masjid Imam Syafii dan sebelum menuju makam Sidi Uqbah bin Amir al-Juhani Sahabat Nabi Saw.
Setelah selesai dimakamkan, para pelayat membaca doa dan dzikir bersama-sama, mengkhatamkan Alquran dan lain-lain. Hal tersebut terus dilakukan selama seminggu dengan berkali-kali khataman tanpa bisa dihitung sudah berapa khataman. Bahkan Imam Jalaluddin as-Mahalli memanggil masyarakat berkumpul ke rumahnya untuk khataman Alquran dan menghadiahkannya spesifik kepada almarhum.
"Mautul Alim - Mautul Alam"
~ Semoga Allah selalu memberi manfaat kepada kita semua akan keilmuannya, Amiin ~
Al-Hay Al-'Asyir, Selasa, 13 Agustus 2019
Amirul Mukminin
===============
Sumber: Al-Jawahir Waddurar, ad-Dhau’ul Lami’ li Ahlil Qarnittasi’, Raf’ul Ishr ‘an Qudhoti Misr, Lahadzul Alhadz Dzail Thabaqat al- Huffadz, Nadzmul ‘Iqyan fi A’yanil A’yan, al-Manhalusshafi dan al-Badrutthali’ min Ba’dil Qarnissabi’.